Berita MalamPolitik

Tak Ada Lagi “Tot Tot Wuk Wuk”, Prabowo Pun Berhenti Saat Lampu Merah

Pendahuluan

Sirene meraung, klakson bersahut-sahutan, lalu jalanan tiba-tiba lengang saat rombongan pejabat lewat. Pemandangan itu sudah lama menjadi bagian dari kehidupan kota-kota besar di Indonesia. Suara khas “tot tot wuk wuk” dari iring-iringan pengawalan seakan menjadi tanda bahwa rakyat biasa harus menepi dan memberi jalan bagi para pemegang kekuasaan.

Namun, suasana itu kini mengalami perubahan. Presiden Prabowo Subianto tertangkap kamera publik berhenti di persimpangan lampu merah tanpa sirene, tanpa klakson khusus, dan tanpa keistimewaan untuk menerobos. Momen sederhana ini seketika jadi perbincangan ramai, dipuji sebagai teladan, sekaligus dianggap sebagai simbol era baru dalam budaya berlalu lintas pejabat.


Simbol Perubahan di Jalan Raya

Prabowo, yang baru genap hampir setahun menjabat sebagai presiden, tampaknya ingin menampilkan citra berbeda dalam kesehariannya. Dengan memilih berhenti di lampu merah, ia memberi pesan bahwa hukum dan aturan lalu lintas berlaku sama untuk semua orang.

Bagi sebagian masyarakat, langkah ini seolah memutus kebiasaan lama yang identik dengan arogansi pejabat di jalan raya. Tidak ada lagi keistimewaan rombongan besar yang memaksa pengguna jalan lain menepi, tidak ada lagi suara sirene panjang yang mengganggu, dan tidak ada lagi pengendara biasa yang merasa menjadi “warga kelas dua” di jalan.


Mengapa Berhenti di Lampu Merah Jadi Penting?

Dalam konteks negara demokrasi, simbol sangat berarti. Seorang presiden yang berhenti di lampu merah bukan sekadar urusan teknis lalu lintas. Itu adalah simbol bahwa pemimpin tertinggi negara pun tunduk pada aturan yang sama dengan rakyatnya.

Pengamat kebijakan publik menilai sikap ini sebagai langkah kecil yang punya makna besar. Di tengah kondisi di mana ketidakdisiplinan lalu lintas menjadi masalah sehari-hari, kehadiran teladan dari pucuk pimpinan bisa memberikan efek psikologis. Masyarakat merasa dihargai, sekaligus diajak untuk ikut tertib.


Kritik Terhadap Budaya “Tot Tot Wuk Wuk”

Budaya pengawalan pejabat dengan sirene sudah lama menuai kritik. Banyak kasus di mana pengguna jalan, termasuk ambulans dan kendaraan darurat lain, terpaksa terhambat karena iring-iringan pejabat. Tidak sedikit pula yang menilai pengawalan berlebihan itu lebih mencerminkan kesenjangan sosial ketimbang kebutuhan keamanan.

Suara khas sirene yang disebut masyarakat dengan istilah “tot tot wuk wuk” bahkan sudah menjadi bahan satire di media sosial. Bagi publik, bunyi itu adalah simbol kesewenang-wenangan. Karena itu, hilangnya kebiasaan ini dipandang sebagai kabar segar.


Respons Publik

Momen Prabowo berhenti di lampu merah cepat menyebar di platform digital. Video pendek dan foto yang menampilkan mobil kepresidenan terhenti di perempatan mendapat beragam komentar positif.

Banyak warganet memuji sikap sederhana itu. “Kalau presidennya saja patuh lampu merah, kita harus malu kalau masih suka nerobos,” tulis salah satu komentar. Ada pula yang menyebut momen ini sebagai “edukasi gratis” bagi masyarakat.

Namun, sebagian suara kritis juga muncul. Ada yang menilai bahwa tindakan ini bisa jadi hanya pencitraan sesaat. Meski begitu, bagi mayoritas publik, simbol tetaplah simbol. Satu langkah sederhana lebih baik daripada tidak sama sekali.


Implikasi bagi Budaya Lalu Lintas

Apa arti dari perubahan ini bagi budaya berlalu lintas di Indonesia? Pertama, ia memperlihatkan bahwa pejabat publik bisa menurunkan “jarak sosial” dengan masyarakat hanya dengan mematuhi aturan sederhana. Kedua, hal ini bisa menjadi momentum untuk mendorong kesadaran disiplin di jalan, sebuah persoalan yang sering dianggap remeh tetapi berdampak besar pada keselamatan.

Data Direktorat Lalu Lintas Polri menunjukkan ribuan kasus kecelakaan setiap tahun dipicu oleh pelanggaran rambu, termasuk menerobos lampu merah. Jika teladan dari pejabat bisa mengurangi kecenderungan itu meski sedikit, dampaknya bisa signifikan.


Teladan dari Pemimpin Dunia

Apa yang dilakukan Prabowo bukan hal baru di dunia internasional. Beberapa pemimpin dunia dikenal dengan gaya sederhana di jalan raya. Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte, kerap bersepeda ke kantornya tanpa pengawalan besar. Presiden Uruguay, José Mujica, semasa menjabat lebih sering mengendarai mobil tua tanpa iring-iringan.

Teladan-teladan ini menegaskan bahwa kepemimpinan tidak selalu harus ditunjukkan dengan kemewahan atau keistimewaan, tetapi juga bisa melalui kesederhanaan dan kedekatan dengan rakyat.


Tantangan ke Depan

Meski momen ini dipuji, tantangan sebenarnya adalah konsistensi. Publik akan menunggu apakah gaya baru ini benar-benar menjadi kebijakan tetap atau hanya sesekali. Lebih jauh, masyarakat ingin melihat apakah perubahan ini juga berlaku pada pejabat lain, bukan hanya presiden.

Jika hanya presiden yang berhenti di lampu merah, sementara pejabat lain masih beriringan dengan sirene, pesan simbolis bisa tereduksi. Karenanya, dibutuhkan kebijakan yang lebih luas untuk membatasi penggunaan pengawalan dan sirene hanya untuk kondisi darurat.


Penutup

“Tak ada lagi tot tot wuk wuk” bukan sekadar soal hilangnya suara sirene di jalanan. Ia adalah pergeseran simbolik tentang bagaimana pejabat memperlakukan warganya. Dengan berhenti di lampu merah, Presiden Prabowo Subianto memberi isyarat sederhana: bahwa hukum berlaku untuk semua.

Apakah langkah ini akan benar-benar mengubah budaya lalu lintas di Indonesia, hanya waktu yang bisa menjawab. Tetapi setidaknya, dari sebuah perempatan lampu merah, kita menyaksikan bahwa perubahan bisa dimulai dari tindakan kecil seorang pemimpin.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *