NewsPolitik

Komisi III DPR Dukung Pembatasan Sirene & Strobo oleh Kakorlantas: Antara Keseimbangan & Ketertiban

Meta Deskripsi: Wakil Ketua Komisi III DPR RI Rano Alfath mendukung kebijakan Kakorlantas Polri Irjen Agus Suryonugroho yang membatasi penggunaan sirene dan strobo pejabat. Kebijakan ini diharapkan meningkatkan ketertiban, kenyamanan publik, dan penggunaan yang lebih bijak.


Latar Belakang

Jakarta — Pemerintah melalui Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), khususnya Korps Lalu Lintas (Korlantas), kembali menjadi sorotan publik setelah Kepala Korlantas, Irjen Agus Suryonugroho, mengeluarkan kebijakan pembatasan penggunaan sirene dan strobo pada kendaraan pengawalan pejabat. Keputusan ini mencakup larangan penggunaan pada waktu-waktu tertentu, seperti saat adzan berkumandang, serta pengurangan penggunaan sirene maupun strobo yang dianggap tidak urgent.

Kebijakan tersebut mendapat respons positif dari berbagai pihak. Salah satu dukungan datang dari Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Rano Alfath, yang menyebut langkah itu sebagai inisiatif yang positif dan sangat perlu dikawal bersama agar mampu membawa ketertiban dan kenyamanan publik yang lebih baik.


Isi Kebijakan Kakorlantas & Alasan Pengajuan

Irjen Agus Suryonugroho mengeluarkan arahan agar penggunaan sirene dan strobo dalam pengawalan pejabat dibatasi. Ada beberapa poin penting yang menjadi sorotan:

  • Penggunaan sirene tidak boleh digunakan sembarangan dan harus dalam kondisi sangat mendesak atau darurat.
  • Larangan penggunaan sirene ketika suara adzan berkumandang, atau pada saat-saat yang dianggap kurang tepat secara sosial dan budaya.
  • Sirene dan strobo tetap boleh digunakan selama pengawalan resmi atau keadaan darurat sesuai protokol yang dipersyaratkan.

Dukungan dari Komisi III DPR

Rano Alfath menyatakan bahwa dia menerima banyak aspirasi dari masyarakat terkait penggunaan sirene yang dianggap berlebihan atau dilakukan pada saat tidak tepat. Ia menyebut bahwa sering kali sirene digunakan hanya untuk kepentingan penampilan atau ritual formal, bukan semata-merta kebutuhan keamanan atau prioritas terlindungi.

Beberapa pernyataannya:

“Saya memandang kebijakan yang dikeluarkan Kakorlantas Polri ini sebagai langkah positif dan patut didukung… penggunaan sirene memang dimaksudkan untuk kepentingan tertentu … Namun dalam praktiknya … digunakan secara berlebihan … menimbulkan keresahan masyarakat.”

“Kami juga sering menerima aspirasi dari masyarakat terkait keluhan penggunaan sirene yang mengganggu. Karena itu, saya melihat kebijakan ini sejalan dengan semangat penertiban dan upaya menghadirkan ketertiban umum.”

Rano menekankan bahwa kebijakan ini harus diikuti dengan sosialisasi dan pengawasan yang konsisten agar aturan tersebut bukan hanya bagus di kertas, tetapi juga berjalan dengan baik di lapangan.


Manfaat & Harapan

Beberapa manfaat yang diproyeksikan dari pembatasan sirene dan strobo ini antara lain:

  1. Kenyamanan Masyarakat
    Penggunaan sirene atau strobo secara sembarangan sering menimbulkan suara keras yang dapat mengganggu masyarakat, terutama saat malam hari atau ketika adzan berkumandang. Mengurangi penggunaannya bisa meningkatkan kualitas hidup dan rasa nyaman publik.
  2. Ketertiban Lalu Linta
    Sirene sering membuat pengendara di sekitar pengawalan panik dan bereaksi tidak sesuai, misalnya memberi ruang secara mendadak atau mengubah jalur secara tiba-tiba. Dengan pembatasan, diharapkan bahwa pengawalan bisa lebih tertib, dengan aturan yang jelas.
  3. Keadilan & Persepsi Publik
    Bila penggunaan sirene dibatasi, maka tidak semua pejabat bisa seenaknya menggunakan fasilitas tersebut, sehingga ada kesan keadilan dalam perlakuan aturan lalu lintas dan pengawalan. Kebijakan ini bisa meredam persepsi bahwa fasilitas negara dipakai asal-asalan oleh pejabat.
  4. Peningkatan Disiplin & Kepatuhan
    Kebijakan seperti ini juga menjadi pengingat bahwa penggunaan sirene adalah hak istimewa yang harus digunakan berdasarkan aturan. Dengan demikian, diharapkan aparat pengawal pejabat dan instansi pengadaan kendaraan pengawal akan lebih tertib dan taat aturan.

Tantangan dan Hal yang Perlu Diperhatikan

Walau dukungan luas muncul, ada sejumlah tantangan yang perlu diperhatikan agar kebijakan ini efektif:

  • Sosialisasi
    Agar masyarakat memahami kapan sirene boleh digunakan dan kapan tidak, perlu adanya edukasi publik yang jelas. Jika tidak disosialisasikan dengan baik, orang mungkin tidak paham dan menganggap pembatasan sebagai pembatasan ilegal atau pengurangan hak. Rano menekankan pentingnya sosialisasi.
  • Penegakan & Konsistensi
    Kebijakan hanya akan efektif jika penegakan di lapangan konsisten. Aparat polisi pengawal pejabat harus memahami dan patuh terhadap regulasi baru ini, dan ada mekanisme pengawasan agar pelanggaran dapat diidentifikasi dan ditindak.
  • Definisi “Keadaan Mendesak”
    Perlu definisi yang jelas mengenai “kondisi darurat” atau “pengawalan pejabat prioritas” agar tidak ada penyalahgunaan.
  • Keterlibatan Masyarakat
    Meminta masyarakat untuk ikut memberi feedback ketika aturan dilanggar atau terasa merugikan agar ada mekanisme responsif dari pihak berwenang.

Perspektif Lebih Luas & Komparatif

Pembatasan sirene dan strobo bukan gagasan yang sepenuhnya baru: banyak negara di dunia telah memiliki regulasi ketat mengenai penggunaan sirene. Misalnya di beberapa kota besar, sirene darurat hanya bisa digunakan oleh ambulans, pemadam kebakaran, atau aparat keamanan dalam kondisi sangat tertentu. Pejabat sipil tidak bisa seenaknya memakai sirene untuk pengawalan biasa.

Dalam konteks Indonesia, kebijakan ini menjadi bagian dari tren peningkatan regulasi publik agar aparat negara lebih bertanggung jawab terhadap dampak sosial dari tindakan mereka, bukan hanya aspek keselamatan dan fungsi operasional.


Kesimpulan

Kebijakan Kepala Korlantas Polri, Irjen Agus Suryonugroho, yang membatasi penggunaan sirene dan strobo pada kendaraan pengawalan pejabat mendapat dukungan dari Komisi III DPR, diwakili oleh Rano Alfath. Dukungan ini mencerminkan keinginan publik yang sudah lama muncul: agar keistimewaan aparat negara tidak disalahgunakan, dan agar ruang publik tetap nyaman dan tertib.

Langkah ini meski sederhana, namun penting dalam membangun budaya regulasi dan ketertiban yang dihormati oleh semua pihak. Supaya kebijakan ini mampu berjalan lancar, diperlukan sosialisasi, definisi yang jelas, dan pengawasan konsisten.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *