HukumKriminalitasPolitik

Jaksa di Banten Diduga Peras WNA Korsel Rp2,4 Miliar: KPK Ungkap Modus, OTT, dan Status Tersangka

Jakarta — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap operasi tangkap tangan (OTT) terhadap jaksa di Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten terkait dugaan pemerasan yang menimpa seorang warga negara asing (WNA) asal Korea Selatan, dalam kasus yang berkaitan dengan proses hukum di Indonesia. KPK menyatakan operasi itu berkaitan dengan kasus pemerasan terhadap WNA yang tengah berperkara di pengadilan, dengan nilai uang yang diminta diduga mencapai Rp2,4 miliar.

Kasus ini telah menjadi sorotan nasional karena melibatkan oknum aparat penegak hukum dalam praktik yang dinilai mencederai prinsip keadilan dan integritas sistem peradilan Indonesia.


Awal Kasus: Modus Diduga Pemerasan dalam Proses Sidang

Polisi antirasuah mengungkap bahwa dugaan pemerasan tersebut terjadi pada saat proses persidangan perkara yang dihadapi WNA asal Korea Selatan, yang bekerja sebagai animator dan berstatus tersangka atas dugaan pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) di Pengadilan Negeri Tangerang. Jaksa yang bertugas diduga menggunakan wewenangnya untuk menekan korban agar menyerahkan sejumlah uang dalam jumlah besar dengan dalih memuluskan jalannya proses hukum dan menghindarkan ancaman hukuman berat atau penahanan.

Menurut Juru Bicara KPK Budi Prasetyo, salah satu modus yang dilakukan oknum jaksa adalah dengan ancaman pemberian tuntutan yang lebih tinggi, ancaman penahanan, dan tekanan lainnya jika korban tidak memenuhi permintaan uang. Hal ini dianggap sebagai praktik pemerasan yang mencederai proses hukum dan merusak citra penegakan hukum Indonesia, apalagi korbannya adalah warga negara asing.

Modus tersebut juga melibatkan struktur komunikasi yang sengaja dibentuk, termasuk pengacara serta ahli bahasa atau penerjemah yang diduga sengaja disiapkan untuk membantu proses pemerasan terhadap korban yang tidak fasih berbahasa Indonesia.


OTT KPK: Penangkapan Oknum Jaksa dan Pihak Lainnya

KPK melakukan OTT pada Rabu, 17 Desember 2025, di wilayah Banten dan Jakarta, untuk mengamankan sejumlah pihak yang diduga terlibat dalam praktik tersebut. Dari operasi itu, penyidik antikorupsi berhasil menangkap satu jaksa berinisial RZ yang bertugas di Kejati Banten, bersama dua pengacara termasuk Didik Feriyanto, serta enam orang pihak swasta, termasuk seorang ahli bahasa. Selain itu, KPK turut menyita barang bukti berupa uang tunai sekitar Rp900 juta dari lokasi OTT.

Namun demikian, dua jaksa lain yang ikut diduga terlibat belum berhasil ditangkap saat OTT. Dalam perkembangan kasus ini, Kejaksaan Agung mengklaim telah mengeluarkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) terhadap empat orang, termasuk oknum jaksa yang sudah tertangkap. KPK kemudian menyerahkan penanganan perkara dugaan pemerasan ini kepada Kejaksaan Agung, dengan pertimbangan adanya Sprindik tersebut yang diklaim sudah diterbitkan sejak 17 Desember 2025.


Peran Kejaksaan Agung dan Status Tersangka

Setelah OTT oleh KPK, Kejaksaan Agung mengambil alih proses penanganan perkara. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Anang Supriatna, menjelaskan bahwa tiga orang jaksa sudah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan pemerasan tersebut, termasuk jaksa yang tertangkap langsung saat OTT. Inisial tiga jaksa itu disebut RZ (tersangka dari OTT KPK), HMK, dan RP, yang di antaranya bertugas di Kejati Banten dan Kejaksaan Negeri (Kejari) Tigaraksa.

Dalam perkembangan tersebut, lima tersangka termasuk tiga jaksa serta dua pihak swasta kini telah ditahan di Rumah Tahanan Salemba Cabang Kejaksaan Agung, dan proses hukum dipastikan berjalan tanpa intervensi dari pihak manapun. Kejaksaan Agung menegaskan bahwa proses penyelidikan dan penuntutan akan berlangsung sesuai hukum yang berlaku.


Dampak Hukum dan Citra Penegakan Hukum Indonesia

Kasus ini menjadi indikator seriusnya upaya pemberantasan praktik kriminal yang melibatkan aparat penegak hukum sendiri. Para pengamat hukum menilai bahwa kasus ini menjadi momentum penting untuk memperbaiki kelembagaan dan proses hukum di Indonesia. Selain aspek hukum domestik, keterlibatan warga negara asing sebagai korban pemerasan berpotensi menjadi sorotan di kancah internasional dan berdampak pada citra Indonesia dalam penegakan hukum global.

KPK sendiri dalam beberapa kesempatan menegaskan bahwa menangani kasus yang melibatkan aparat penegak hukum menjadi bagian dari tugasnya membersihkan institusi penegak hukum dari praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang. “Kasus ini menunjukkan bahwa tidak ada ruang bagi siapa pun, termasuk aparat penegak hukum, untuk melakukan tindakan sewenang-wenang yang merugikan masyarakat atau pihak lain.” ujar Jubir KPK.


Respons Publik dan Tekanan Demokrasi

Di tengah proses hukum yang masih berjalan, publik menanggapi kasus ini dengan berbagai sudut pandang. Banyak yang mengecam tindakan oknum jaksa dan meminta agar penyelidikan berjalan transparan, profesional, dan tanpa intervensi politik. Hal ini juga menjadi tantangan sosial bagi masyarakat untuk terus mendukung reformasi hukum yang menjamin keadilan tanpa diskriminasi.

Para pengamat hukum dan kelompok masyarakat sipil menekankan pentingnya dukungan publik terhadap lembaga penegak hukum agar kasus semacam ini dapat menjadi pelajaran penting dan tidak terulang di masa depan. Mereka juga menyerukan agar proses hukum dapat berjalan terbuka dan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan secara publik sebagai bentuk akuntabilitas lembaga penegak hukum.


Konsekuensi Internal dalam Korps Kejaksaan

Selain proses pidana, kasus ini juga menjadi fokus internal dalam korps kejaksaan. Praktik pemerasan yang melibatkan jaksa membuka ruang bagi evaluasi internal dan kemungkinan sanksi etik yang lebih tegas, termasuk pembinaan atau pemberhentian tetap bagi jaksa yang terbukti melanggar kode etik profesi.

Kejaksaan Agung berkomitmen untuk mengambil langkah tegas terhadap jaksa yang terlibat kasus ini, termasuk memastikan bahwa proses penyidikan dan penuntutan berjalan adil serta sesuai aturan internal dan nasional. Hal ini penting untuk mencegah krisis kepercayaan publik terhadap penegakan hukum di Indonesia.


Kesimpulan: Kasus OTT KPK dan Pemerasan WNA Korsel

Kasus OTT KPK terhadap jaksa Kejati Banten yang diduga memeras WNA Korsel sebesar Rp2,4 miliar merupakan salah satu kejadian besar yang mencerminkan tantangan pemberantasan korupsi dan penyalahgunaan wewenang dalam tubuh penegak hukum Indonesia. Dengan keterlibatan warga negara asing sebagai korban, kasus ini tidak hanya berdampak pada ranah hukum domestik, tetapi juga pada citra internasional Indonesia.

Proses hukum yang tengah berjalan, termasuk penetapan tersangka dan penahanan oleh Kejaksaan Agung, menjadi langkah penting dalam memastikan upaya penegakan hukum tetap berada di jalur yang benar, adil, dan transparan. Publik kini menantikan perkembangan dan hasil akhir penyidikan, serta implementasi hukum yang tegas bagi para pelaku, untuk memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *