Sekolah di Perbatasan Masih Gelap Internet
Kilatnews.id — Di tengah gempuran digitalisasi pendidikan nasional, sejumlah sekolah dasar di wilayah perbatasan Indonesia masih harus berjuang hanya untuk mendapatkan sinyal internet.
Guru dan siswa di kawasan 3T (tertinggal, terdepan, terluar) seperti Kabupaten Nunukan (Kalimantan Utara) dan Kefamenanu (NTT) mengaku akses jaringan masih jauh dari kata memadai.
Padahal, program transformasi digital sekolah yang digagas pemerintah sejak 2021 menargetkan seluruh sekolah dasar di Indonesia sudah memiliki akses internet stabil pada tahun 2024.
Namun kenyataannya, hingga Oktober 2025, masih banyak sekolah di perbatasan yang belum tersentuh jaringan fiber optik.
“Kalau mau kirim laporan ke dinas, saya harus naik ke bukit dulu,” kata Sri Wahyuni, guru SD di wilayah perbatasan Sebatik, Nunukan, kepada RRI.
“Sinyal sering hilang. Kadang baru terkirim setelah tengah malam.”
Kuota Pribadi dan Modem Satelit Jadi Andalan
Minimnya infrastruktur membuat para guru terpaksa mengandalkan kuota pribadi atau jaringan satelit portable yang harganya tidak murah.
Dalam satu bulan, biaya kuota internet bisa mencapai Rp500 ribu hingga Rp700 ribu, angka yang berat bagi guru dengan gaji terbatas.
Beberapa sekolah memang telah mendapat bantuan perangkat dari Bakti Kominfo, namun banyak yang belum bisa dimanfaatkan optimal karena keterbatasan listrik dan cuaca ekstrem.
Di musim hujan, sinyal satelit sering terganggu, sementara listrik di desa hanya menyala beberapa jam sehari.
“Perangkat sudah ada, tapi percuma kalau sinyal dan listrik tidak stabil,” ujar Agus Rahman, kepala SDN di perbatasan Kalimantan–Sabah.
Belajar Daring Masih Jadi Mimpi
Kondisi ini berdampak langsung pada mutu pembelajaran.
Kegiatan belajar berbasis digital — seperti Learning Management System (LMS), pelatihan guru daring, atau ujian berbasis komputer — sulit dilakukan.
Sebagian guru masih mencatat nilai secara manual dan mengirim laporan menggunakan surat fisik ke dinas pendidikan kabupaten.
Bagi siswa, akses internet yang buruk juga berarti terbatasnya kesempatan untuk mengenal teknologi.
“Anak-anak di sini baru tahu YouTube saat ke kota,” kata Dian, guru SD di Miangas, Sulawesi Utara. “Padahal mereka harus bersaing dengan anak-anak yang setiap hari belajar pakai tablet.”
Menurut data Pusat Data dan Teknologi Informasi (Pusdatin) Kemendikbudristek, masih ada lebih dari 3.000 sekolah di wilayah perbatasan yang belum memiliki koneksi internet tetap hingga pertengahan 2025.
Pemerintah Akui Masih Banyak Kendala
Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemenkomdigi) mengakui bahwa pemerataan akses internet di daerah perbatasan masih menghadapi tantangan besar.
Salah satu penyebabnya adalah topografi ekstrem dan biaya operasional tinggi untuk pembangunan jaringan serat optik di wilayah terpencil.
“Kabel bawah tanah dan tower sulit dibangun di wilayah dengan kontur pegunungan dan hutan lebat,” ujar Dirjen Aplikasi Informatika, Semuel A. Pangerapan.
“Karena itu, kami sedang memperluas jaringan berbasis satelit orbit rendah untuk sekolah-sekolah di 3T.”
Program terbaru pemerintah, SATRIA-1 (Satelit Republik Indonesia), diklaim akan menyediakan koneksi internet untuk lebih dari 50.000 titik layanan publik, termasuk sekolah, puskesmas, dan kantor desa.
Namun distribusi sinyal ke daerah perbatasan baru akan optimal pada semester pertama 2026.
Kesenjangan Digital yang Belum Tertutup
Ketimpangan digital antara Jawa dan wilayah perbatasan masih menjadi masalah klasik.
Di satu sisi, kota besar seperti Jakarta dan Surabaya sedang melaju ke arah pembelajaran berbasis AI dan big data;
di sisi lain, sekolah di perbatasan masih bergulat dengan sinyal dan listrik yang tak pasti.
Pengamat kebijakan pendidikan dari Universitas Gadjah Mada, Prof. Darmaningtyas, menyebut kondisi ini sebagai “jurang literasi digital nasional.”
“Anak-anak di perbatasan punya potensi besar, tapi negara belum benar-benar hadir dalam infrastruktur dasar,” katanya.
“Kalau akses internet saja tidak adil, bagaimana kita bisa bicara soal transformasi digital pendidikan?”
Harapan Guru dan Murid di Garis Batas
Meski keterbatasan terus menghimpit, semangat para guru di perbatasan tak pernah padam.
Mereka tetap berinovasi dengan cara sederhana — menulis modul sendiri, membuat alat peraga dari bahan alam, dan menyalin materi dari internet saat berkunjung ke kota.
“Kalau sinyal hilang, kami kembali ke papan tulis. Anak-anak tetap belajar,” ujar Sri Wahyuni sambil tersenyum.
Bagi mereka, pendidikan di wilayah perbatasan bukan sekadar tugas, melainkan pengabdian terhadap tanah air.
Mereka menjaga batas negara bukan dengan senjata, tapi dengan pena dan papan tulis.