News

Darurat Siber: Indonesia ‘Dinobatkan’ Sebagai Sarang Hacker Terbesar di Dunia, Kalahkan Rusia dan China

JAKARTA, kilatnews.id – Sebuah predikat yang jauh dari kata membanggakan baru saja disematkan kepada Indonesia di kancah internasional. Di tengah ambisi besar pemerintah untuk memacu transformasi digital dan ekonomi berbasis teknologi, Indonesia justru tercatat sebagai negara “Juara 1” dalam hal sumber serangan siber global. Laporan terbaru yang dirilis oleh lembaga riset keamanan siber terkemuka menempatkan Nusantara di puncak daftar, menggeser negara-negara yang selama ini dikenal sebagai raksasa peretas seperti Tiongkok, Rusia, dan Brasil.

Data yang mengejutkan ini bukan sekadar statistik di atas kertas, melainkan cerminan nyata dari rapuhnya ekosistem keamanan digital di tanah air. Lonjakan lalu lintas serangan yang berasal dari alamat IP (Internet Protocol) Indonesia dinilai sangat masif, mendominasi persentase serangan siber yang terdeteksi di berbagai belahan dunia sepanjang kuartal terakhir tahun 2025.

Membedah Fenomena: Hacker Andal atau Perangkat “Zombie”?

Penting untuk membedah makna di balik label “Sarang Hacker” ini agar tidak terjadi salah kaprah. Predikat ini tidak serta-merta berarti bahwa Indonesia memiliki jumlah peretas (hacker) ahli terbanyak yang sedang duduk di depan komputer melakukan pembobolan. Sebaliknya, ini adalah indikator bahwa jutaan perangkat digital di Indonesia—mulai dari ponsel pintar, laptop, hingga perangkat Internet of Things (IoT) seperti CCTV dan router WiFi—telah terinfeksi malware dan dikendalikan oleh sindikat kriminal global.

Para pakar keamanan siber menyebut fenomena ini sebagai botnet atau jaringan perangkat zombie. Perangkat-perangkat milik warga Indonesia yang minim perlindungan keamanan ini “dibajak” tanpa sepengetahuan pemiliknya. Kemudian, perangkat tersebut digunakan sebagai “pintu keluar” atau proksi untuk melancarkan serangan DDoS (Distributed Denial of Service), penyebaran ransomware, hingga pencurian data ke target-target di negara lain.

Tingginya angka ini menunjukkan bahwa literasi keamanan digital masyarakat Indonesia masih sangat rendah. Kebiasaan menggunakan software bajakan, mengklik tautan sembarangan (phishing), dan membiarkan perangkat tanpa antivirus yang memadai, menjadikan Indonesia sebagai “kolam ikan” yang empuk bagi para penjahat siber untuk merekrut pasukan botnet mereka. Alih-alih menjadi pelaku utama, Indonesia dalam konteks ini justru menjadi fasilitator infrastruktur serangan terbesar karena kelalaian kolektif.

Korelasi dengan Maraknya Judi Online dan Pinjol Ilegal

Analisis lebih dalam juga menemukan korelasi yang kuat antara predikat ini dengan maraknya situs judi online dan aplikasi pinjaman online (pinjol) ilegal di Indonesia. Ribuan situs judi yang menyusup ke situs-situs pemerintah (go.id) dan pendidikan (ac.id) seringkali menjadi inang bagi malware.

Ketika masyarakat mengakses situs-situs ilegal tersebut, perangkat mereka rentan terinfeksi virus backdoor. Virus inilah yang kemudian membuka celah bagi peretas untuk mengontrol perangkat tersebut dari jarak jauh. Selain itu, masifnya kebocoran data pribadi (seperti NIK dan nomor ponsel) yang diperjualbelikan di dark web semakin mempermudah peretas untuk melakukan serangan rekayasa sosial (social engineering) guna mengambil alih akun dan perangkat warga.

Faktor lain yang tak kalah krusial adalah penggunaan sistem operasi dan perangkat lunak yang sudah usang (outdated). Banyak instansi pemerintahan maupun perusahaan swasta di Indonesia yang masih menggunakan sistem operasi yang tidak lagi mendapatkan dukungan pembaruan keamanan (security patch). Lubang-lubang keamanan yang tidak pernah ditambal ini adalah jalan tol bagi lalu lintas serangan siber.

Tanggapan Pemerintah dan Tantangan BSSN

Merespons laporan ini, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) bersama Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) menghadapi tekanan publik yang kian berat. Setelah insiden peretasan Pusat Data Nasional (PDN) beberapa waktu lalu, predikat “Juara 1 Sarang Hacker” ini seolah menabur garam di atas luka. Kredibilitas Indonesia dalam menjaga kedaulatan digitalnya kembali dipertanyakan, baik oleh investor asing maupun rakyat sendiri.

Pemerintah berdalih bahwa tingginya angka serangan yang terdeteksi dari Indonesia juga disebabkan oleh peningkatan aktivitas deteksi itu sendiri. Namun, argumen ini dinilai lemah oleh para pengamat. Fakta bahwa IP Indonesia digunakan secara masif untuk menyerang negara lain menunjukkan bahwa regulasi dan pengawasan terhadap penyedia layanan internet (ISP) serta standar keamanan perangkat masih sangat longgar.

BSSN didesak untuk tidak hanya fokus pada pembangunan infrastruktur fisik, tetapi juga membangun “tembok api” (firewall) regulasi dan edukasi. Kampanye literasi digital tidak bisa lagi sekadar slogan. Harus ada tindakan tegas terhadap penyedia aplikasi atau situs yang tidak memenuhi standar keamanan data.

Dampak Ekonomi dan Kepercayaan Global

Dampak dari status ini sangat serius bagi perekonomian digital Indonesia. Kepercayaan investor global terhadap ekosistem startup dan teknologi finansial (fintech) di Indonesia bisa tergerus. Perusahaan multinasional mungkin akan berpikir dua kali untuk menempatkan pusat data (data center) mereka di Indonesia jika infrastruktur siber negara ini dianggap sebagai sarang penyakit.

Selain itu, alamat IP dari Indonesia kini berisiko masuk dalam daftar hitam (blacklist) global. Akibatnya, akses pengguna internet Indonesia ke layanan-layanan internasional tertentu bisa jadi akan dipersulit atau diblokir karena dianggap berisiko tinggi (high risk). Ini tentu akan merugikan para profesional, akademisi, dan pelaku bisnis yang bergantung pada konektivitas global.

Alarm Bahaya yang Tak Boleh Diabaikan

Predikat sebagai sumber serangan siber terbesar di dunia adalah tamparan keras yang harus diterima dengan lapang dada sebagai bahan evaluasi radikal. Ini adalah bukti bahwa transformasi digital tanpa diimbangi dengan fondasi keamanan yang kokoh hanyalah sebuah bom waktu.

Indonesia tidak bisa terus-menerus berlindung di balik narasi “korban”. Sebagai negara dengan populasi pengguna internet terbesar keempat di dunia, tanggung jawab untuk menjaga kebersihan ruang siber juga ada di tangan setiap individu. Mulai dari berhenti menggunakan aplikasi bajakan, mengaktifkan otentikasi dua faktor (2FA), hingga rutin memperbarui sistem perangkat.

Jika tidak ada perbaikan signifikan dalam waktu dekat, Indonesia tidak hanya akan dikenal sebagai pasar ekonomi digital yang besar, tetapi juga sebagai ancaman siber terbesar bagi stabilitas internet dunia. Dan itu adalah reputasi yang sangat mahal harganya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *