Kritik Keras Pernyataan Menteri Agama: Pelecehan Seksual Pesantren Bukan Isu yang Boleh ‘Dibesar-besarkan
JAKARTA – Pernyataan Menteri Agama (Menag) yang menyebut kasus kejahatan seksual di lingkungan pesantren cenderung “dibesar-besarkan oleh media” adalah sebuah blunder serius dan menunjukkan pengabaian terhadap krisis struktural perlindungan anak yang nyata di lembaga pendidikan keagamaan. Alih-alih meredam keprihatinan publik, komentar tersebut justru memicu gelombang kritik balik yang menuntut akuntabilitas dan tindakan tegas, bukan upaya defensif untuk melindungi citra institusi.
Isu kejahatan seksual, apalagi yang menimpa santri yang berada dalam posisi rentan dan subordinasi, adalah kejahatan murni dan bukan sekadar gossip atau hiperbola media. Peran media dalam kasus ini justru vital sebagai katup pengaman terakhir yang memaksa kasus terungkap ke ranah hukum setelah seringkali gagal diselesaikan secara internal.
Bahaya Ganda Victim Blaming Institusional
Pernyataan Menag mengandung bahaya ganda. Pertama, secara tidak langsung ia melakukan victim blaming institusional, menempatkan beban kesalahan pada pelapor atau media, bukan pada pelaku dan sistem yang membiarkan kejahatan terjadi.
Kedua, upaya mereduksi masalah menjadi perbandingan statistik (ribuan pesantren baik vs segelintir kasus buruk) adalah logika yang gagal. Kekerasan seksual adalah kejahatan serius yang berulang. Keberadaan satu kasus pun sudah menunjukkan adanya celah sistemik dan lingkungan tertutup yang rentan disalahgunakan oleh figur otoritas—entah itu kyai atau guru.
Para pegiat hak anak dan perlindungan perempuan telah lama menunjuk fakta bahwa kasus yang terungkap hanyalah puncak gunung es. Banyak kasus tersembunyi karena korban diintimidasi, diancam dikeluarkan dari pondok, atau dipaksa untuk ‘damai’ demi menjaga kehormatan lembaga. Menyalahkan media adalah upaya untuk mematikan satu-satunya mekanisme pengawasan eksternal yang efektif.
Kegagalan Otoritas dan Kebutuhan Reformasi
Fokus Menag seharusnya bukan pada citra pesantren, melainkan pada tugas fundamental kementerian: perlindungan santri. Pernyataan kontroversial ini mengalihkan perhatian dari kegagalan serius Kementerian Agama (Kemenag) dalam:
- Regulasi Internal: Kemenag dinilai lamban dan tidak efektif dalam membuat regulasi pengawasan yang ketat dan independen, khususnya terkait integritas moral tenaga pendidik dan pengelola.
- Mekanisme Pelaporan: Minimnya sistem pelaporan yang aman dan rahasia. Banyak santri tidak tahu harus melapor ke mana, atau takut jika laporannya akan diteruskan kembali ke pelaku di internal pondok.
- Implementasi Hukum: Kecenderungan penyelesaian kasus secara kekeluargaan di internal pesantren seringkali membiarkan pelaku bebas atau hanya dipindahkan ke pondok lain, yang berarti memindahkan potensi kejahatan, bukan mengakhirinya.
Publik menuntut agar Kemenag segera memimpin reformasi struktural secara mendesak. Ini harus dimulai dengan adopsi penuh prinsip “zero tolerance” terhadap pelaku kejahatan seksual, yang harus ditindak pidana tanpa pengecualian.
Momentum yang Disia-siakan
Pemberitaan media yang masif terhadap kasus-kasus pelecehan seharusnya dijadikan momentum emas oleh Menag untuk menunjukkan kepemimpinan moral dan politik. Ini adalah kesempatan untuk mengirim pesan tegas kepada seluruh institusi pendidikan di bawah naungan Kemenag bahwa otoritas tidak kebal hukum.
Dengan pernyataan yang defensif, Menag justru memberi kesan bahwa pemerintah lebih mementingkan citra institusi daripada trauma dan keselamatan para korban. Kejahatan seksual di lingkungan pesantren adalah fakta yang menyakitkan dan harus dihadapi dengan kejujuran, keberanian, dan penegakan hukum yang tegas, bukan dengan mencoba mengecilkan atau membungkam media.