Fenomena Gus Instan: Saat Agama Dijual, Akal Sehat Ditinggalkan
Indonesia sedang demam tokoh spiritual dadakan.
Setiap minggu, entah di TikTok, YouTube, atau panggung dakwah, muncul sosok baru yang tiba-tiba mengenakan sorban, berbicara dengan intonasi penuh wibawa, lalu menyebut dirinya “keturunan suci”.
Publik pun berbaris menyembah, mengirim saweran, dan menyalin petuah-petuah kosong mereka seolah wahyu.
Fenomena ini bukan sekadar masalah moral. Ini krisis rasionalitas.
Kita sedang menyaksikan agama ditarik turun dari langit nurani menjadi dagangan pasar, dijual dengan bungkus karisma dan nama besar.
Yang lebih menyedihkan: masyarakat menyambutnya dengan tepuk tangan.
Gelar “Gus” dan Industri Spiritual
Istilah “Gus” dulunya punya makna hormat. Di Jawa Timur dan sebagian Jawa Tengah, “Gus” digunakan untuk menyebut putra kiai besar atau keturunan ulama terpandang.
Tapi hari ini, makna itu tercemar oleh industri spiritual dadakan.
Setiap kali muncul seseorang bersorban dan berbicara dengan sedikit aksen pesantren, ia bisa dengan mudah menempelkan gelar itu di depan namanya.
Tak perlu sanad, tak perlu ilmu, cukup modal panggung dan kamera.
Media sosial mempercepat proses itu.
Dulu butuh waktu puluhan tahun untuk jadi panutan. Kini cukup 15 menit live streaming dan seribu komentar “MasyaAllah” untuk naik kelas menjadi “guru rohani.”
Kultus Figur: Saat Akal Sehat Tak Lagi Laku
Yang membuat fenomena ini berbahaya bukanlah si “Gus instan”-nya — tapi masyarakat yang mudah sekali percaya.
Orang-orang haus panutan spiritual, tetapi malas berpikir. Mereka mencari “pembimbing jiwa,” padahal yang datang sering kali cuma penjual doa, pelaris, dan testimoni.
Mereka berbondong-bondong datang ke pengajian yang lebih mirip konser.
Ada efek cahaya, tata suara megah, hingga merchandise bertuliskan “Ngaji Asyik Bareng Gus Fulan.”
Kata “asli” dan “ilmu” tergantikan oleh “viral” dan “views.”
“Semakin tinggi rating dakwah, semakin dianggap berkah,” kata seorang ustaz muda yang kecewa melihat tren ini.
Publik kita tampaknya lupa bahwa agama tidak pernah dimaksudkan untuk menjadi hiburan.
Tapi di era algoritma, kebenaran kalah populer dari karisma.
Dari Spiritualitas ke Kapital
Ada masa ketika guru spiritual hidup sederhana, menolak bayaran, dan menjaga jarak dari kuasa duniawi.
Kini, sebagian justru menjadikan agama sebagai brand personal.
Kita melihat “gus” yang tampil di iklan kopi, mempromosikan investasi syariah abal-abal, bahkan menjadi bintang tamu di reality show.
Sebagian menjual air doa, jimat, atau akses eksklusif lewat grup berbayar — semua diklaim sebagai “jalan menuju keberkahan.”
Dan seperti biasa, masyarakat menelan mentah-mentah.
Mereka tak sadar sedang mendanai komodifikasi iman.
Fenomena ini bukan kebetulan.
Ketika pendidikan kritis rendah dan kemiskinan tinggi, agama berubah jadi ruang pelarian massal.
Di situ, siapa pun yang pandai berbicara tentang surga bisa dengan mudah menjual harapan — dan kebodohan pun menjadi ladang subur.
Warisan Feodalisme Rohani
Fenomena “gus instan” tak lepas dari warisan feodalisme spiritual yang masih kuat di masyarakat.
Kita masih terbiasa menempatkan “tokoh agama” sebagai sosok yang tak boleh dikritik.
Begitu seseorang tampil dengan pakaian alim, maka ucapannya dianggap benar.
Begitu ia mengaku keturunan ulama besar, maka publik seolah kehilangan hak untuk bertanya.
Padahal, setiap ajaran yang benar seharusnya tidak anti-diuji.
Budaya “sungkan pada yang dianggap suci” membuat banyak orang akhirnya menutup mata pada penyimpangan.
Ketika ada kasus penipuan berkedok ziarah, pelecehan dalam pengajian, atau penyalahgunaan donasi, publik cepat memaafkan.
Alasannya sederhana: “Dia kan Gus.”
Spiritualitas Palsu di Era Digital
Di dunia maya, spiritualitas kini tampil seperti konten hiburan.
Live streaming zikir dikemas seperti konser EDM: lampu warna-warni, irama musik modern, hingga selebritas yang ikut “collab” dengan dai viral.
Dakwah berubah jadi pertunjukan, dan penceramah jadi influencer.
Yang dihitung bukan lagi kedalaman makna, tapi jumlah like dan donasi digital.
Dalam lanskap seperti itu, spiritualitas kehilangan makna kontemplatifnya.
Ia berubah menjadi mekanisme psikologis untuk menenangkan diri sesaat, bukan jalan untuk mengenal kebenaran sejati.
“Agama kehilangan kesakralannya ketika mulai mencari panggung,” tulis sosiolog Prancis, Pierre Bourdieu — dan tampaknya itu kini terjadi di sini.
Psikologi Orang yang Mudah Dibodohi
Mengapa publik mudah sekali tertipu oleh “Gus instan”?
Jawabannya ada pada psikologi sosial.
Pertama, banyak orang lebih butuh kepastian daripada kebenaran.
Ketika hidup serba sulit, ucapan siapa pun yang menjanjikan jalan cepat menuju keselamatan terdengar seperti musik di telinga.
Kedua, masyarakat kita terlalu menghormati simbol religius.
Orang berpeci dianggap lebih jujur, yang bersorban dianggap lebih suci, padahal pakaian tidak pernah menjadi ukuran moralitas.
Ketiga, ada rasa rendah diri kolektif yang membuat sebagian orang merasa tak pantas berpikir kritis soal agama.
Akibatnya, mereka mudah disetir oleh otoritas spiritual yang tampil meyakinkan — meski tanpa dasar ilmu.
Dan yang paling berbahaya:
kebodohan spiritual ini sering kali dibungkus dengan bahasa kesalehan.
Setiap kritik dianggap “kurang iman.”
Setiap pertanyaan dituduh “melawan ulama.”
Dari Ketertundukan ke Kebangkitan Nalar
Tentu tidak semua tokoh agama palsu. Banyak guru sejati yang tetap lurus dan rendah hati.
Namun, masyarakat harus belajar membedakan antara guru dan pedagang iman.
Membuka mata bukan berarti melawan agama.
Justru sebaliknya — itu bentuk cinta pada kebenaran.
Ki Hajar Dewantara pernah mengatakan, “Manusia merdeka adalah yang pikirannya tidak dijajah.”
Dan penjajahan paling halus hari ini adalah ketika pikiran rakyat dijajah oleh mereka yang memakai pakaian suci untuk kepentingan pribadi.
Sudah saatnya publik berhenti menelan mentah setiap klaim spiritual.
Agama bukan soal siapa yang berbicara paling keras, tapi siapa yang hidup paling jujur.
Ironi Akhir: Saat “Keturunan Suci” Jatuh ke Duniawi
Beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan kasus demi kasus yang melibatkan figur yang dulu diagungkan sebagai “Gus” atau “Habib muda.”
Ada yang terjerat kasus penipuan investasi, ada yang ditangkap karena narkoba, ada pula yang menjadi pelaku pelecehan seksual di lembaga pendidikan agama.
Namun di setiap kasus, publik masih terbagi dua: antara yang kecewa dan yang membela mati-matian.
Kata “fitnah” menjadi pelindung universal bagi mereka yang tidak mau berpikir.
Fenomena ini menunjukkan bahwa masyarakat kita belum sembuh dari penyakit feodalisme rohani.
Kita lebih mudah menolak fakta daripada menerima kenyataan bahwa sosok yang dikagumi ternyata manusia biasa — bahkan mungkin lebih rendah dari yang dikira.
Kesimpulan: Kembalilah ke Akal Sehat
Kebodohan spiritual bukan karena agama salah arah, tapi karena manusia menutup matanya sendiri.
Selama masyarakat masih menganggap kritik sebagai dosa, dan logika sebagai ancaman iman, maka “gus instan” akan terus bermunculan — silih berganti, dengan nama baru dan trik yang sama.
Kita hidup di masa di mana agama kehilangan suara akalnya.
Dan jika akal sudah mati, keimanan pun tinggal kostum.
“Di tangan orang bodoh, agama adalah pedang yang memotong leher sesamanya. Di tangan orang berilmu, agama adalah cermin untuk melihat diri.”
Sudah waktunya rakyat membuka mata.
Ketaatan tanpa nalar bukan kesalehan — itu penyerahan diri kepada kebohongan yang dibungkus doa.
📚 Sumber & Referensi:
- Kompas, Fenomena Ustaz Viral dan Komersialisasi Dakwah (2025)
- Tempo, Agama di Era Konten dan Kultus Figur (2024)
- Pierre Bourdieu, Religion and Symbolic Power (1989)
- Data observasi sosial & riset tren media keagamaan digital 2023–2025