Guru BK di Lubuklinggau Diduga Cabuli Siswinya, Pelaku Laporkan Balik Orang Tua Korban
Lubuklinggau, 25 September 2025 — Kasus dugaan pencabulan di lingkungan sekolah kembali mencuat di Kota Lubuklinggau, Sumatera Selatan. Kali ini, seorang guru bimbingan konseling (BK) yang berinisial A diduga melakukan tindakan asusila terhadap seorang siswi berinisial P (12 tahun). Kasus ini menjadi sorotan publik setelah informasi menyebar luas di media sosial. Namun, yang membuat kasus ini semakin kompleks, pelaku juga melapor balik orang tua korban dengan tuduhan penganiayaan.
Laporan pencabulan terhadap pelaku dibuat oleh keluarga korban pada Senin malam (22/9/2025). Dua hari setelahnya, A menyerahkan diri ke Polres Lubuklinggau sekitar pukul 08.00 WIB. Namun saat itu, A tidak hanya mengurus penahanan diri sendiri, melainkan juga melaporkan AS, ayah korban, dengan tuduhan melakukan penganiayaan dan ancaman kepadanya.
Kanit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Lubuklinggau, Ipda Kopran, membenarkan bahwa terjadi proses pelaporan silang antara pelaku dan orang tua korban. “Ya, pelaku melapor balik. Jadi sekarang menjadi dua laporan, saling lapor,” jelasnya, Rabu (24/9/2025).
Kronologi Kejadian
Penemuan Kasus dan Pelaporan Awal
Kasus ini mulai terkuak ketika sebuah unggahan di media sosial mengisahkan bahwa P diduga dicabuli oleh guru BK di SMP Negeri 1 Lubuklinggau. Dalam postingan tersebut diklaim bahwa A meminta korban melakukan tindakan seksual, mulai dari ciuman hingga onani yang diarahkan.
Orang tua korban, terutama ibu korban berinisial ER, menyatakan bahwa perubahan drastis pada sikap anaknya memicu kecurigaan. P yang sebelumnya ceria dan aktif, tiba-tiba menjadi murung, menutup diri di kamar, enggan makan maupun berkomunikasi. Karena korban menolak bicara, keluarga akhirnya menemukan unggahan di media sosial dan mendesak agar korban bercerita.
Begitu informasi viral, orang tua korban melaporkan dugaan pencabulan ke sekolah dan pihak kepolisian malam hari. Keesokan hari, A menyerahkan diri kepada kepolisian setempat.
Tuduhan Pelaku terhadap Orang Tua Korban
Menurut penuturan Ipda Kopran, A mengaku bahwa pada saat hendak pulang usai salat Subuh, ia ditabrak oleh ayah korban (AS) di Kelurahan Waterpang, Kecamatan Lubuklinggau Timur I. A mengaku mengalami luka di tangan dan kaki akibat tabrakan tersebut. Ia lalu melaporkan AS atas tuduhan penganiayaan serta ancaman kepada dirinya.
Kopran menyebut bahwa laporan atas pencabulan dan laporan balik ini kini diproses beriringan. “Sudah visum juga di bagian tangan dan kaki yang terluka karena ditabrak,” tuturnya. Untuk saat ini, AS belum dipanggil secara resmi untuk diperiksa terkait laporan penganiayaan itu, sementara proses gelar perkara terhadap A sudah berjalan.
Respon Sekolah dan Status Pelaku
Menanggapi kasus tersebut, pihak SMP Negeri 1 Lubuklinggau memberi tanggapan terbatas. Kepala sekolah, Anita, membenarkan adanya dugaan pencabulan yang viral itu dan menyebut bahwa A sudah diamankan. Menurut keterangan, peristiwa tersebut diduga terjadi sekitar dua minggu sebelum kasus terungkap.
Anita juga menyatakan bahwa A berstatus sebagai pegawai dengan skema P3K (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja). Karena kasus tersebut, pihak sekolah memutuskan untuk menonaktifkannya sementara dan menunggu rekomendasi lebih lanjut dari instansi terkait seperti inspektorat dan Badan Kepegawaian Daerah (BKD).
Kepala sekolah menambahkan bahwa pihak sekolah hanya mampu menangani aspek administratif; penjatuhan sanksi pidana berada di ranah hukum dan lembaga peradilan.
Dampak Psikologis pada Korban dan Harapan Keluarga
Keluarga korban menyatakan trauma berat yang dialami P. Perubahan perilaku anak semula menjadi titik awal kesadaran orang tua bahwa ada masalah serius. Beberapa hari sebelum laporan, P dilaporkan sering mengurung diri di kamar, menolak makan dan mandi, serta enggan berkomunikasi bahkan dengan orang terdekat.
ER menyebut bahwa meski P awalnya enggan membuka cerita, ia akhirnya mengaku setelah didampingi oleh pamannya. Ia juga berharap kasus ini dapat diusut secara tuntas dan dijadikan peringatan agar tidak terjadi lagi pada anak lain, terutama karena P termasuk murid berprestasi.
Keluarga berharap agar aparat penegak hukum memberikan perlindungan maksimal kepada korban dan proses hukum dijalankan tanpa kompromi. Mereka juga menyerukan agar sekolah dan lembaga terkait meningkatkan mekanisme pengawasan terhadap interaksi guru dan siswa.
Tantangan Penegakan Hukum dan Perlindungan Anak
Beberapa aspek krusial muncul dari kasus ini:
- Bukti dan Visum Forensik
Agar tuduhan pencabulan dapat diproses pidana, perlu ada bukti medis (visum) dan saksi yang kredibel. Polisi harus memastikan proses visum dilakukan dengan akurat dan sesuai prosedur hukum. - Proses Hukum yang Transparan
Karena ada laporan balik dari pelaku, kepolisian dihadapkan pada tantangan menggulir dua laporan sekaligus. Harus ada ketegasan agar tidak terjadi konflik kepentingan atau penundaan yang merugikan korban. - Peran Sekolah dan Institusi Pendidikan
Sekolah perlu memiliki prosedur internal pencegahan pelecehan, pelatihan etika guru, dan sistem pengaduan siswa yang aman. Penonaktifan sementara pelaku adalah langkah awal, tetapi pemulihan kepercayaan sekolah sangat penting. - Pendampingan Psikologis
Korban pelecehan seksual anak rentan mengalami gangguan psikologis jangka panjang (trauma, depresi, gangguan tidur). Oleh karena itu, pihak sekolah, Dinas Pendidikan, dan lembaga sosial harus memfasilitasi layanan konseling dan rehabilitasi untuk pemulihan korban.
Status Terbaru dan Proyeksi Proses Hukum
- Untuk saat ini, gelar perkara terhadap pelaku (A) telah berjalan.
- Laporan terhadap ayah korban (AS) belum memicu panggilan resmi. Ipda Kopran menyebut bahwa pemanggilan masih dalam proses penyelidikan.
- Pelaku telah dinonaktifkan sementara oleh sekolah sambil menunggu putusan dari instansi terkait.
- Kepolisian juga akan memeriksa saksi dan pihak terkait dalam kasus pencabulan maupun laporan balik untuk memastikan fakta yang akurat dan adil.
Jika proses hukum berjalan adil dan terbuka, putusan terhadap pelaku akan menjadi preseden penting bagi perlindungan anak dan zero tolerance terhadap kekerasan seksual di lingkungan pendidikan.
Kasus guru BK di Lubuklinggau yang diduga mencabuli siswinya tidak hanya menimbulkan reaksi publik, tetapi juga membuka peliknya dinamika “lapor balik” antara pelaku dan orang tua korban. Sementara pihak pelaku mengajukan laporan terhadap orang tua korban atas tuduhan penganiayaan, pihak korban tetap mendesak agar kasus utama pelecehan seksual diusut tuntas.
Proses hukum yang adil, transparan, dan mematuhi standar perlindungan anak sangat penting agar korban tidak mengalami revictimization. Sekolah, otoritas pendidikan, dan penegak hukum harus bekerja sinergis agar kasus semacam ini tidak berulang. Penyediaan pendampingan psikologis untuk korban dan penegakan regulasi internal sekolah juga menjadi kunci dalam menata sistem pendidikan yang aman dari kekerasan seksual.
