EkonomiHukumPolitik

Trump Resmi Ganti Nama Kemhan AS Jadi “Departemen Perang”


Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.




Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Washington, 5 September 2025 – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menandatangani perintah eksekutif untuk mengganti nama Departemen Pertahanan (Department of Defense) menjadi “Department of War”—sebuah pengembalian istilah historis yang digunakan hingga 1949. Langkah ini dimaknai sebagai simbol perubahan sikap dari pertahanan semata menjadi ofensif dalam militer AS.

Makna Simbolik dan Implementasi Awal

Dalam pelaksanaannya, institusi militer langsung mengubah signage di Pentagon, dan petinggi seperti Pete Hegseth telah diperkenalkan sebagai “Secretary of War,” sementara properti digital seperti situs resmi Pentagon otomatis diarahkan ke war.gov. Menurut Trump, tindakan ini menandakan “semangat menang,” bukan sekadar simbolisme belaka.

“It’s not just about words — it’s about the warrior ethos,” tegas Pete Hegseth sebagai penyokong utama perubahan ini.

Aspek Legal dan Reaksi Kritikus

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Washington, 5 September 2025 – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menandatangani perintah eksekutif untuk mengganti nama Departemen Pertahanan (Department of Defense) menjadi “Department of War”—sebuah pengembalian istilah historis yang digunakan hingga 1949. Langkah ini dimaknai sebagai simbol perubahan sikap dari pertahanan semata menjadi ofensif dalam militer AS.

Makna Simbolik dan Implementasi Awal

Dalam pelaksanaannya, institusi militer langsung mengubah signage di Pentagon, dan petinggi seperti Pete Hegseth telah diperkenalkan sebagai “Secretary of War,” sementara properti digital seperti situs resmi Pentagon otomatis diarahkan ke war.gov. Menurut Trump, tindakan ini menandakan “semangat menang,” bukan sekadar simbolisme belaka.

“It’s not just about words — it’s about the warrior ethos,” tegas Pete Hegseth sebagai penyokong utama perubahan ini.

Aspek Legal dan Reaksi Kritikus

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Washington, 5 September 2025 – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menandatangani perintah eksekutif untuk mengganti nama Departemen Pertahanan (Department of Defense) menjadi “Department of War”—sebuah pengembalian istilah historis yang digunakan hingga 1949. Langkah ini dimaknai sebagai simbol perubahan sikap dari pertahanan semata menjadi ofensif dalam militer AS.

Makna Simbolik dan Implementasi Awal

Dalam pelaksanaannya, institusi militer langsung mengubah signage di Pentagon, dan petinggi seperti Pete Hegseth telah diperkenalkan sebagai “Secretary of War,” sementara properti digital seperti situs resmi Pentagon otomatis diarahkan ke war.gov. Menurut Trump, tindakan ini menandakan “semangat menang,” bukan sekadar simbolisme belaka.

“It’s not just about words — it’s about the warrior ethos,” tegas Pete Hegseth sebagai penyokong utama perubahan ini.

Aspek Legal dan Reaksi Kritikus

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.




Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Washington, 5 September 2025 – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menandatangani perintah eksekutif untuk mengganti nama Departemen Pertahanan (Department of Defense) menjadi “Department of War”—sebuah pengembalian istilah historis yang digunakan hingga 1949. Langkah ini dimaknai sebagai simbol perubahan sikap dari pertahanan semata menjadi ofensif dalam militer AS.

Makna Simbolik dan Implementasi Awal

Dalam pelaksanaannya, institusi militer langsung mengubah signage di Pentagon, dan petinggi seperti Pete Hegseth telah diperkenalkan sebagai “Secretary of War,” sementara properti digital seperti situs resmi Pentagon otomatis diarahkan ke war.gov. Menurut Trump, tindakan ini menandakan “semangat menang,” bukan sekadar simbolisme belaka.

“It’s not just about words — it’s about the warrior ethos,” tegas Pete Hegseth sebagai penyokong utama perubahan ini.

Aspek Legal dan Reaksi Kritikus

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Washington, 5 September 2025 – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menandatangani perintah eksekutif untuk mengganti nama Departemen Pertahanan (Department of Defense) menjadi “Department of War”—sebuah pengembalian istilah historis yang digunakan hingga 1949. Langkah ini dimaknai sebagai simbol perubahan sikap dari pertahanan semata menjadi ofensif dalam militer AS.

Makna Simbolik dan Implementasi Awal

Dalam pelaksanaannya, institusi militer langsung mengubah signage di Pentagon, dan petinggi seperti Pete Hegseth telah diperkenalkan sebagai “Secretary of War,” sementara properti digital seperti situs resmi Pentagon otomatis diarahkan ke war.gov. Menurut Trump, tindakan ini menandakan “semangat menang,” bukan sekadar simbolisme belaka.

“It’s not just about words — it’s about the warrior ethos,” tegas Pete Hegseth sebagai penyokong utama perubahan ini.

Aspek Legal dan Reaksi Kritikus

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Washington, 5 September 2025 – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menandatangani perintah eksekutif untuk mengganti nama Departemen Pertahanan (Department of Defense) menjadi “Department of War”—sebuah pengembalian istilah historis yang digunakan hingga 1949. Langkah ini dimaknai sebagai simbol perubahan sikap dari pertahanan semata menjadi ofensif dalam militer AS.

Makna Simbolik dan Implementasi Awal

Dalam pelaksanaannya, institusi militer langsung mengubah signage di Pentagon, dan petinggi seperti Pete Hegseth telah diperkenalkan sebagai “Secretary of War,” sementara properti digital seperti situs resmi Pentagon otomatis diarahkan ke war.gov. Menurut Trump, tindakan ini menandakan “semangat menang,” bukan sekadar simbolisme belaka.

“It’s not just about words — it’s about the warrior ethos,” tegas Pete Hegseth sebagai penyokong utama perubahan ini.

Aspek Legal dan Reaksi Kritikus

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Washington, 5 September 2025 – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menandatangani perintah eksekutif untuk mengganti nama Departemen Pertahanan (Department of Defense) menjadi “Department of War”—sebuah pengembalian istilah historis yang digunakan hingga 1949. Langkah ini dimaknai sebagai simbol perubahan sikap dari pertahanan semata menjadi ofensif dalam militer AS.

Makna Simbolik dan Implementasi Awal

Dalam pelaksanaannya, institusi militer langsung mengubah signage di Pentagon, dan petinggi seperti Pete Hegseth telah diperkenalkan sebagai “Secretary of War,” sementara properti digital seperti situs resmi Pentagon otomatis diarahkan ke war.gov. Menurut Trump, tindakan ini menandakan “semangat menang,” bukan sekadar simbolisme belaka.

“It’s not just about words — it’s about the warrior ethos,” tegas Pete Hegseth sebagai penyokong utama perubahan ini.

Aspek Legal dan Reaksi Kritikus

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Washington, 5 September 2025 – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menandatangani perintah eksekutif untuk mengganti nama Departemen Pertahanan (Department of Defense) menjadi “Department of War”—sebuah pengembalian istilah historis yang digunakan hingga 1949. Langkah ini dimaknai sebagai simbol perubahan sikap dari pertahanan semata menjadi ofensif dalam militer AS.

Makna Simbolik dan Implementasi Awal

Dalam pelaksanaannya, institusi militer langsung mengubah signage di Pentagon, dan petinggi seperti Pete Hegseth telah diperkenalkan sebagai “Secretary of War,” sementara properti digital seperti situs resmi Pentagon otomatis diarahkan ke war.gov. Menurut Trump, tindakan ini menandakan “semangat menang,” bukan sekadar simbolisme belaka.

“It’s not just about words — it’s about the warrior ethos,” tegas Pete Hegseth sebagai penyokong utama perubahan ini.

Aspek Legal dan Reaksi Kritikus

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Washington, 5 September 2025 – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menandatangani perintah eksekutif untuk mengganti nama Departemen Pertahanan (Department of Defense) menjadi “Department of War”—sebuah pengembalian istilah historis yang digunakan hingga 1949. Langkah ini dimaknai sebagai simbol perubahan sikap dari pertahanan semata menjadi ofensif dalam militer AS.

Makna Simbolik dan Implementasi Awal

Dalam pelaksanaannya, institusi militer langsung mengubah signage di Pentagon, dan petinggi seperti Pete Hegseth telah diperkenalkan sebagai “Secretary of War,” sementara properti digital seperti situs resmi Pentagon otomatis diarahkan ke war.gov. Menurut Trump, tindakan ini menandakan “semangat menang,” bukan sekadar simbolisme belaka.

“It’s not just about words — it’s about the warrior ethos,” tegas Pete Hegseth sebagai penyokong utama perubahan ini.

Aspek Legal dan Reaksi Kritikus

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Washington, 5 September 2025 – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menandatangani perintah eksekutif untuk mengganti nama Departemen Pertahanan (Department of Defense) menjadi “Department of War”—sebuah pengembalian istilah historis yang digunakan hingga 1949. Langkah ini dimaknai sebagai simbol perubahan sikap dari pertahanan semata menjadi ofensif dalam militer AS.

Makna Simbolik dan Implementasi Awal

Dalam pelaksanaannya, institusi militer langsung mengubah signage di Pentagon, dan petinggi seperti Pete Hegseth telah diperkenalkan sebagai “Secretary of War,” sementara properti digital seperti situs resmi Pentagon otomatis diarahkan ke war.gov. Menurut Trump, tindakan ini menandakan “semangat menang,” bukan sekadar simbolisme belaka.

“It’s not just about words — it’s about the warrior ethos,” tegas Pete Hegseth sebagai penyokong utama perubahan ini.

Aspek Legal dan Reaksi Kritikus

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Washington, 5 September 2025 – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menandatangani perintah eksekutif untuk mengganti nama Departemen Pertahanan (Department of Defense) menjadi “Department of War”—sebuah pengembalian istilah historis yang digunakan hingga 1949. Langkah ini dimaknai sebagai simbol perubahan sikap dari pertahanan semata menjadi ofensif dalam militer AS.

Makna Simbolik dan Implementasi Awal

Dalam pelaksanaannya, institusi militer langsung mengubah signage di Pentagon, dan petinggi seperti Pete Hegseth telah diperkenalkan sebagai “Secretary of War,” sementara properti digital seperti situs resmi Pentagon otomatis diarahkan ke war.gov. Menurut Trump, tindakan ini menandakan “semangat menang,” bukan sekadar simbolisme belaka.

“It’s not just about words — it’s about the warrior ethos,” tegas Pete Hegseth sebagai penyokong utama perubahan ini.

Aspek Legal dan Reaksi Kritikus

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Washington, 5 September 2025 – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menandatangani perintah eksekutif untuk mengganti nama Departemen Pertahanan (Department of Defense) menjadi “Department of War”—sebuah pengembalian istilah historis yang digunakan hingga 1949. Langkah ini dimaknai sebagai simbol perubahan sikap dari pertahanan semata menjadi ofensif dalam militer AS.

Makna Simbolik dan Implementasi Awal

Dalam pelaksanaannya, institusi militer langsung mengubah signage di Pentagon, dan petinggi seperti Pete Hegseth telah diperkenalkan sebagai “Secretary of War,” sementara properti digital seperti situs resmi Pentagon otomatis diarahkan ke war.gov. Menurut Trump, tindakan ini menandakan “semangat menang,” bukan sekadar simbolisme belaka.

“It’s not just about words — it’s about the warrior ethos,” tegas Pete Hegseth sebagai penyokong utama perubahan ini.

Aspek Legal dan Reaksi Kritikus

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Washington, 5 September 2025 – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menandatangani perintah eksekutif untuk mengganti nama Departemen Pertahanan (Department of Defense) menjadi “Department of War”—sebuah pengembalian istilah historis yang digunakan hingga 1949. Langkah ini dimaknai sebagai simbol perubahan sikap dari pertahanan semata menjadi ofensif dalam militer AS.

Makna Simbolik dan Implementasi Awal

Dalam pelaksanaannya, institusi militer langsung mengubah signage di Pentagon, dan petinggi seperti Pete Hegseth telah diperkenalkan sebagai “Secretary of War,” sementara properti digital seperti situs resmi Pentagon otomatis diarahkan ke war.gov. Menurut Trump, tindakan ini menandakan “semangat menang,” bukan sekadar simbolisme belaka.

“It’s not just about words — it’s about the warrior ethos,” tegas Pete Hegseth sebagai penyokong utama perubahan ini.

Aspek Legal dan Reaksi Kritikus

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Washington, 5 September 2025 – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menandatangani perintah eksekutif untuk mengganti nama Departemen Pertahanan (Department of Defense) menjadi “Department of War”—sebuah pengembalian istilah historis yang digunakan hingga 1949. Langkah ini dimaknai sebagai simbol perubahan sikap dari pertahanan semata menjadi ofensif dalam militer AS.

Makna Simbolik dan Implementasi Awal

Dalam pelaksanaannya, institusi militer langsung mengubah signage di Pentagon, dan petinggi seperti Pete Hegseth telah diperkenalkan sebagai “Secretary of War,” sementara properti digital seperti situs resmi Pentagon otomatis diarahkan ke war.gov. Menurut Trump, tindakan ini menandakan “semangat menang,” bukan sekadar simbolisme belaka.

“It’s not just about words — it’s about the warrior ethos,” tegas Pete Hegseth sebagai penyokong utama perubahan ini.

Aspek Legal dan Reaksi Kritikus

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.




Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Washington, 5 September 2025 – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menandatangani perintah eksekutif untuk mengganti nama Departemen Pertahanan (Department of Defense) menjadi “Department of War”—sebuah pengembalian istilah historis yang digunakan hingga 1949. Langkah ini dimaknai sebagai simbol perubahan sikap dari pertahanan semata menjadi ofensif dalam militer AS.

Makna Simbolik dan Implementasi Awal

Dalam pelaksanaannya, institusi militer langsung mengubah signage di Pentagon, dan petinggi seperti Pete Hegseth telah diperkenalkan sebagai “Secretary of War,” sementara properti digital seperti situs resmi Pentagon otomatis diarahkan ke war.gov. Menurut Trump, tindakan ini menandakan “semangat menang,” bukan sekadar simbolisme belaka.

“It’s not just about words — it’s about the warrior ethos,” tegas Pete Hegseth sebagai penyokong utama perubahan ini.

Aspek Legal dan Reaksi Kritikus

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Washington, 5 September 2025 – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menandatangani perintah eksekutif untuk mengganti nama Departemen Pertahanan (Department of Defense) menjadi “Department of War”—sebuah pengembalian istilah historis yang digunakan hingga 1949. Langkah ini dimaknai sebagai simbol perubahan sikap dari pertahanan semata menjadi ofensif dalam militer AS.

Makna Simbolik dan Implementasi Awal

Dalam pelaksanaannya, institusi militer langsung mengubah signage di Pentagon, dan petinggi seperti Pete Hegseth telah diperkenalkan sebagai “Secretary of War,” sementara properti digital seperti situs resmi Pentagon otomatis diarahkan ke war.gov. Menurut Trump, tindakan ini menandakan “semangat menang,” bukan sekadar simbolisme belaka.

“It’s not just about words — it’s about the warrior ethos,” tegas Pete Hegseth sebagai penyokong utama perubahan ini.

Aspek Legal dan Reaksi Kritikus

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Washington, 5 September 2025 – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menandatangani perintah eksekutif untuk mengganti nama Departemen Pertahanan (Department of Defense) menjadi “Department of War”—sebuah pengembalian istilah historis yang digunakan hingga 1949. Langkah ini dimaknai sebagai simbol perubahan sikap dari pertahanan semata menjadi ofensif dalam militer AS.

Makna Simbolik dan Implementasi Awal

Dalam pelaksanaannya, institusi militer langsung mengubah signage di Pentagon, dan petinggi seperti Pete Hegseth telah diperkenalkan sebagai “Secretary of War,” sementara properti digital seperti situs resmi Pentagon otomatis diarahkan ke war.gov. Menurut Trump, tindakan ini menandakan “semangat menang,” bukan sekadar simbolisme belaka.

“It’s not just about words — it’s about the warrior ethos,” tegas Pete Hegseth sebagai penyokong utama perubahan ini.

Aspek Legal dan Reaksi Kritikus

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Washington, 5 September 2025 – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menandatangani perintah eksekutif untuk mengganti nama Departemen Pertahanan (Department of Defense) menjadi “Department of War”—sebuah pengembalian istilah historis yang digunakan hingga 1949. Langkah ini dimaknai sebagai simbol perubahan sikap dari pertahanan semata menjadi ofensif dalam militer AS.

Makna Simbolik dan Implementasi Awal

Dalam pelaksanaannya, institusi militer langsung mengubah signage di Pentagon, dan petinggi seperti Pete Hegseth telah diperkenalkan sebagai “Secretary of War,” sementara properti digital seperti situs resmi Pentagon otomatis diarahkan ke war.gov. Menurut Trump, tindakan ini menandakan “semangat menang,” bukan sekadar simbolisme belaka.

“It’s not just about words — it’s about the warrior ethos,” tegas Pete Hegseth sebagai penyokong utama perubahan ini.

Aspek Legal dan Reaksi Kritikus

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Washington, 5 September 2025 – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menandatangani perintah eksekutif untuk mengganti nama Departemen Pertahanan (Department of Defense) menjadi “Department of War”—sebuah pengembalian istilah historis yang digunakan hingga 1949. Langkah ini dimaknai sebagai simbol perubahan sikap dari pertahanan semata menjadi ofensif dalam militer AS.

Makna Simbolik dan Implementasi Awal

Dalam pelaksanaannya, institusi militer langsung mengubah signage di Pentagon, dan petinggi seperti Pete Hegseth telah diperkenalkan sebagai “Secretary of War,” sementara properti digital seperti situs resmi Pentagon otomatis diarahkan ke war.gov. Menurut Trump, tindakan ini menandakan “semangat menang,” bukan sekadar simbolisme belaka.

“It’s not just about words — it’s about the warrior ethos,” tegas Pete Hegseth sebagai penyokong utama perubahan ini.

Aspek Legal dan Reaksi Kritikus

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Washington, 5 September 2025 – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menandatangani perintah eksekutif untuk mengganti nama Departemen Pertahanan (Department of Defense) menjadi “Department of War”—sebuah pengembalian istilah historis yang digunakan hingga 1949. Langkah ini dimaknai sebagai simbol perubahan sikap dari pertahanan semata menjadi ofensif dalam militer AS.

Makna Simbolik dan Implementasi Awal

Dalam pelaksanaannya, institusi militer langsung mengubah signage di Pentagon, dan petinggi seperti Pete Hegseth telah diperkenalkan sebagai “Secretary of War,” sementara properti digital seperti situs resmi Pentagon otomatis diarahkan ke war.gov. Menurut Trump, tindakan ini menandakan “semangat menang,” bukan sekadar simbolisme belaka.

“It’s not just about words — it’s about the warrior ethos,” tegas Pete Hegseth sebagai penyokong utama perubahan ini.

Aspek Legal dan Reaksi Kritikus

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Washington, 5 September 2025 – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menandatangani perintah eksekutif untuk mengganti nama Departemen Pertahanan (Department of Defense) menjadi “Department of War”—sebuah pengembalian istilah historis yang digunakan hingga 1949. Langkah ini dimaknai sebagai simbol perubahan sikap dari pertahanan semata menjadi ofensif dalam militer AS.

Makna Simbolik dan Implementasi Awal

Dalam pelaksanaannya, institusi militer langsung mengubah signage di Pentagon, dan petinggi seperti Pete Hegseth telah diperkenalkan sebagai “Secretary of War,” sementara properti digital seperti situs resmi Pentagon otomatis diarahkan ke war.gov. Menurut Trump, tindakan ini menandakan “semangat menang,” bukan sekadar simbolisme belaka.

“It’s not just about words — it’s about the warrior ethos,” tegas Pete Hegseth sebagai penyokong utama perubahan ini.

Aspek Legal dan Reaksi Kritikus

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Washington, 5 September 2025 – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menandatangani perintah eksekutif untuk mengganti nama Departemen Pertahanan (Department of Defense) menjadi “Department of War”—sebuah pengembalian istilah historis yang digunakan hingga 1949. Langkah ini dimaknai sebagai simbol perubahan sikap dari pertahanan semata menjadi ofensif dalam militer AS.

Makna Simbolik dan Implementasi Awal

Dalam pelaksanaannya, institusi militer langsung mengubah signage di Pentagon, dan petinggi seperti Pete Hegseth telah diperkenalkan sebagai “Secretary of War,” sementara properti digital seperti situs resmi Pentagon otomatis diarahkan ke war.gov. Menurut Trump, tindakan ini menandakan “semangat menang,” bukan sekadar simbolisme belaka.

“It’s not just about words — it’s about the warrior ethos,” tegas Pete Hegseth sebagai penyokong utama perubahan ini.

Aspek Legal dan Reaksi Kritikus

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Washington, 5 September 2025 – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menandatangani perintah eksekutif untuk mengganti nama Departemen Pertahanan (Department of Defense) menjadi “Department of War”—sebuah pengembalian istilah historis yang digunakan hingga 1949. Langkah ini dimaknai sebagai simbol perubahan sikap dari pertahanan semata menjadi ofensif dalam militer AS.

Makna Simbolik dan Implementasi Awal

Dalam pelaksanaannya, institusi militer langsung mengubah signage di Pentagon, dan petinggi seperti Pete Hegseth telah diperkenalkan sebagai “Secretary of War,” sementara properti digital seperti situs resmi Pentagon otomatis diarahkan ke war.gov. Menurut Trump, tindakan ini menandakan “semangat menang,” bukan sekadar simbolisme belaka.

“It’s not just about words — it’s about the warrior ethos,” tegas Pete Hegseth sebagai penyokong utama perubahan ini.

Aspek Legal dan Reaksi Kritikus

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Washington, 5 September 2025 – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menandatangani perintah eksekutif untuk mengganti nama Departemen Pertahanan (Department of Defense) menjadi “Department of War”—sebuah pengembalian istilah historis yang digunakan hingga 1949. Langkah ini dimaknai sebagai simbol perubahan sikap dari pertahanan semata menjadi ofensif dalam militer AS.

Makna Simbolik dan Implementasi Awal

Dalam pelaksanaannya, institusi militer langsung mengubah signage di Pentagon, dan petinggi seperti Pete Hegseth telah diperkenalkan sebagai “Secretary of War,” sementara properti digital seperti situs resmi Pentagon otomatis diarahkan ke war.gov. Menurut Trump, tindakan ini menandakan “semangat menang,” bukan sekadar simbolisme belaka.

“It’s not just about words — it’s about the warrior ethos,” tegas Pete Hegseth sebagai penyokong utama perubahan ini.

Aspek Legal dan Reaksi Kritikus

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.




Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Washington, 5 September 2025 – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menandatangani perintah eksekutif untuk mengganti nama Departemen Pertahanan (Department of Defense) menjadi “Department of War”—sebuah pengembalian istilah historis yang digunakan hingga 1949. Langkah ini dimaknai sebagai simbol perubahan sikap dari pertahanan semata menjadi ofensif dalam militer AS.

Makna Simbolik dan Implementasi Awal

Dalam pelaksanaannya, institusi militer langsung mengubah signage di Pentagon, dan petinggi seperti Pete Hegseth telah diperkenalkan sebagai “Secretary of War,” sementara properti digital seperti situs resmi Pentagon otomatis diarahkan ke war.gov. Menurut Trump, tindakan ini menandakan “semangat menang,” bukan sekadar simbolisme belaka.

“It’s not just about words — it’s about the warrior ethos,” tegas Pete Hegseth sebagai penyokong utama perubahan ini.

Aspek Legal dan Reaksi Kritikus

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Washington, 5 September 2025 – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menandatangani perintah eksekutif untuk mengganti nama Departemen Pertahanan (Department of Defense) menjadi “Department of War”—sebuah pengembalian istilah historis yang digunakan hingga 1949. Langkah ini dimaknai sebagai simbol perubahan sikap dari pertahanan semata menjadi ofensif dalam militer AS.

Makna Simbolik dan Implementasi Awal

Dalam pelaksanaannya, institusi militer langsung mengubah signage di Pentagon, dan petinggi seperti Pete Hegseth telah diperkenalkan sebagai “Secretary of War,” sementara properti digital seperti situs resmi Pentagon otomatis diarahkan ke war.gov. Menurut Trump, tindakan ini menandakan “semangat menang,” bukan sekadar simbolisme belaka.

“It’s not just about words — it’s about the warrior ethos,” tegas Pete Hegseth sebagai penyokong utama perubahan ini.

Aspek Legal dan Reaksi Kritikus

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Washington, 5 September 2025 – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menandatangani perintah eksekutif untuk mengganti nama Departemen Pertahanan (Department of Defense) menjadi “Department of War”—sebuah pengembalian istilah historis yang digunakan hingga 1949. Langkah ini dimaknai sebagai simbol perubahan sikap dari pertahanan semata menjadi ofensif dalam militer AS.

Makna Simbolik dan Implementasi Awal

Dalam pelaksanaannya, institusi militer langsung mengubah signage di Pentagon, dan petinggi seperti Pete Hegseth telah diperkenalkan sebagai “Secretary of War,” sementara properti digital seperti situs resmi Pentagon otomatis diarahkan ke war.gov. Menurut Trump, tindakan ini menandakan “semangat menang,” bukan sekadar simbolisme belaka.

“It’s not just about words — it’s about the warrior ethos,” tegas Pete Hegseth sebagai penyokong utama perubahan ini.

Aspek Legal dan Reaksi Kritikus

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Washington, 5 September 2025 – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menandatangani perintah eksekutif untuk mengganti nama Departemen Pertahanan (Department of Defense) menjadi “Department of War”—sebuah pengembalian istilah historis yang digunakan hingga 1949. Langkah ini dimaknai sebagai simbol perubahan sikap dari pertahanan semata menjadi ofensif dalam militer AS.

Makna Simbolik dan Implementasi Awal

Dalam pelaksanaannya, institusi militer langsung mengubah signage di Pentagon, dan petinggi seperti Pete Hegseth telah diperkenalkan sebagai “Secretary of War,” sementara properti digital seperti situs resmi Pentagon otomatis diarahkan ke war.gov. Menurut Trump, tindakan ini menandakan “semangat menang,” bukan sekadar simbolisme belaka.

“It’s not just about words — it’s about the warrior ethos,” tegas Pete Hegseth sebagai penyokong utama perubahan ini.

Aspek Legal dan Reaksi Kritikus

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Washington, 5 September 2025 – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menandatangani perintah eksekutif untuk mengganti nama Departemen Pertahanan (Department of Defense) menjadi “Department of War”—sebuah pengembalian istilah historis yang digunakan hingga 1949. Langkah ini dimaknai sebagai simbol perubahan sikap dari pertahanan semata menjadi ofensif dalam militer AS.

Makna Simbolik dan Implementasi Awal

Dalam pelaksanaannya, institusi militer langsung mengubah signage di Pentagon, dan petinggi seperti Pete Hegseth telah diperkenalkan sebagai “Secretary of War,” sementara properti digital seperti situs resmi Pentagon otomatis diarahkan ke war.gov. Menurut Trump, tindakan ini menandakan “semangat menang,” bukan sekadar simbolisme belaka.

“It’s not just about words — it’s about the warrior ethos,” tegas Pete Hegseth sebagai penyokong utama perubahan ini.

Aspek Legal dan Reaksi Kritikus

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Washington, 5 September 2025 – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menandatangani perintah eksekutif untuk mengganti nama Departemen Pertahanan (Department of Defense) menjadi “Department of War”—sebuah pengembalian istilah historis yang digunakan hingga 1949. Langkah ini dimaknai sebagai simbol perubahan sikap dari pertahanan semata menjadi ofensif dalam militer AS.

Makna Simbolik dan Implementasi Awal

Dalam pelaksanaannya, institusi militer langsung mengubah signage di Pentagon, dan petinggi seperti Pete Hegseth telah diperkenalkan sebagai “Secretary of War,” sementara properti digital seperti situs resmi Pentagon otomatis diarahkan ke war.gov. Menurut Trump, tindakan ini menandakan “semangat menang,” bukan sekadar simbolisme belaka.

“It’s not just about words — it’s about the warrior ethos,” tegas Pete Hegseth sebagai penyokong utama perubahan ini.

Aspek Legal dan Reaksi Kritikus

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Washington, 5 September 2025 – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menandatangani perintah eksekutif untuk mengganti nama Departemen Pertahanan (Department of Defense) menjadi “Department of War”—sebuah pengembalian istilah historis yang digunakan hingga 1949. Langkah ini dimaknai sebagai simbol perubahan sikap dari pertahanan semata menjadi ofensif dalam militer AS.

Makna Simbolik dan Implementasi Awal

Dalam pelaksanaannya, institusi militer langsung mengubah signage di Pentagon, dan petinggi seperti Pete Hegseth telah diperkenalkan sebagai “Secretary of War,” sementara properti digital seperti situs resmi Pentagon otomatis diarahkan ke war.gov. Menurut Trump, tindakan ini menandakan “semangat menang,” bukan sekadar simbolisme belaka.

“It’s not just about words — it’s about the warrior ethos,” tegas Pete Hegseth sebagai penyokong utama perubahan ini.

Aspek Legal dan Reaksi Kritikus

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Washington, 5 September 2025 – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menandatangani perintah eksekutif untuk mengganti nama Departemen Pertahanan (Department of Defense) menjadi “Department of War”—sebuah pengembalian istilah historis yang digunakan hingga 1949. Langkah ini dimaknai sebagai simbol perubahan sikap dari pertahanan semata menjadi ofensif dalam militer AS.

Makna Simbolik dan Implementasi Awal

Dalam pelaksanaannya, institusi militer langsung mengubah signage di Pentagon, dan petinggi seperti Pete Hegseth telah diperkenalkan sebagai “Secretary of War,” sementara properti digital seperti situs resmi Pentagon otomatis diarahkan ke war.gov. Menurut Trump, tindakan ini menandakan “semangat menang,” bukan sekadar simbolisme belaka.

“It’s not just about words — it’s about the warrior ethos,” tegas Pete Hegseth sebagai penyokong utama perubahan ini.

Aspek Legal dan Reaksi Kritikus

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Washington, 5 September 2025 – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menandatangani perintah eksekutif untuk mengganti nama Departemen Pertahanan (Department of Defense) menjadi “Department of War”—sebuah pengembalian istilah historis yang digunakan hingga 1949. Langkah ini dimaknai sebagai simbol perubahan sikap dari pertahanan semata menjadi ofensif dalam militer AS.

Makna Simbolik dan Implementasi Awal

Dalam pelaksanaannya, institusi militer langsung mengubah signage di Pentagon, dan petinggi seperti Pete Hegseth telah diperkenalkan sebagai “Secretary of War,” sementara properti digital seperti situs resmi Pentagon otomatis diarahkan ke war.gov. Menurut Trump, tindakan ini menandakan “semangat menang,” bukan sekadar simbolisme belaka.

“It’s not just about words — it’s about the warrior ethos,” tegas Pete Hegseth sebagai penyokong utama perubahan ini.

Aspek Legal dan Reaksi Kritikus

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.




Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Washington, 5 September 2025 – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menandatangani perintah eksekutif untuk mengganti nama Departemen Pertahanan (Department of Defense) menjadi “Department of War”—sebuah pengembalian istilah historis yang digunakan hingga 1949. Langkah ini dimaknai sebagai simbol perubahan sikap dari pertahanan semata menjadi ofensif dalam militer AS.

Makna Simbolik dan Implementasi Awal

Dalam pelaksanaannya, institusi militer langsung mengubah signage di Pentagon, dan petinggi seperti Pete Hegseth telah diperkenalkan sebagai “Secretary of War,” sementara properti digital seperti situs resmi Pentagon otomatis diarahkan ke war.gov. Menurut Trump, tindakan ini menandakan “semangat menang,” bukan sekadar simbolisme belaka.

“It’s not just about words — it’s about the warrior ethos,” tegas Pete Hegseth sebagai penyokong utama perubahan ini.

Aspek Legal dan Reaksi Kritikus

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Washington, 5 September 2025 – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menandatangani perintah eksekutif untuk mengganti nama Departemen Pertahanan (Department of Defense) menjadi “Department of War”—sebuah pengembalian istilah historis yang digunakan hingga 1949. Langkah ini dimaknai sebagai simbol perubahan sikap dari pertahanan semata menjadi ofensif dalam militer AS.

Makna Simbolik dan Implementasi Awal

Dalam pelaksanaannya, institusi militer langsung mengubah signage di Pentagon, dan petinggi seperti Pete Hegseth telah diperkenalkan sebagai “Secretary of War,” sementara properti digital seperti situs resmi Pentagon otomatis diarahkan ke war.gov. Menurut Trump, tindakan ini menandakan “semangat menang,” bukan sekadar simbolisme belaka.

“It’s not just about words — it’s about the warrior ethos,” tegas Pete Hegseth sebagai penyokong utama perubahan ini.

Aspek Legal dan Reaksi Kritikus

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Washington, 5 September 2025 – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menandatangani perintah eksekutif untuk mengganti nama Departemen Pertahanan (Department of Defense) menjadi “Department of War”—sebuah pengembalian istilah historis yang digunakan hingga 1949. Langkah ini dimaknai sebagai simbol perubahan sikap dari pertahanan semata menjadi ofensif dalam militer AS.

Makna Simbolik dan Implementasi Awal

Dalam pelaksanaannya, institusi militer langsung mengubah signage di Pentagon, dan petinggi seperti Pete Hegseth telah diperkenalkan sebagai “Secretary of War,” sementara properti digital seperti situs resmi Pentagon otomatis diarahkan ke war.gov. Menurut Trump, tindakan ini menandakan “semangat menang,” bukan sekadar simbolisme belaka.

“It’s not just about words — it’s about the warrior ethos,” tegas Pete Hegseth sebagai penyokong utama perubahan ini.

Aspek Legal dan Reaksi Kritikus

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Washington, 5 September 2025 – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menandatangani perintah eksekutif untuk mengganti nama Departemen Pertahanan (Department of Defense) menjadi “Department of War”—sebuah pengembalian istilah historis yang digunakan hingga 1949. Langkah ini dimaknai sebagai simbol perubahan sikap dari pertahanan semata menjadi ofensif dalam militer AS.

Makna Simbolik dan Implementasi Awal

Dalam pelaksanaannya, institusi militer langsung mengubah signage di Pentagon, dan petinggi seperti Pete Hegseth telah diperkenalkan sebagai “Secretary of War,” sementara properti digital seperti situs resmi Pentagon otomatis diarahkan ke war.gov. Menurut Trump, tindakan ini menandakan “semangat menang,” bukan sekadar simbolisme belaka.

“It’s not just about words — it’s about the warrior ethos,” tegas Pete Hegseth sebagai penyokong utama perubahan ini.

Aspek Legal dan Reaksi Kritikus

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Washington, 5 September 2025 – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menandatangani perintah eksekutif untuk mengganti nama Departemen Pertahanan (Department of Defense) menjadi “Department of War”—sebuah pengembalian istilah historis yang digunakan hingga 1949. Langkah ini dimaknai sebagai simbol perubahan sikap dari pertahanan semata menjadi ofensif dalam militer AS.

Makna Simbolik dan Implementasi Awal

Dalam pelaksanaannya, institusi militer langsung mengubah signage di Pentagon, dan petinggi seperti Pete Hegseth telah diperkenalkan sebagai “Secretary of War,” sementara properti digital seperti situs resmi Pentagon otomatis diarahkan ke war.gov. Menurut Trump, tindakan ini menandakan “semangat menang,” bukan sekadar simbolisme belaka.

“It’s not just about words — it’s about the warrior ethos,” tegas Pete Hegseth sebagai penyokong utama perubahan ini.

Aspek Legal dan Reaksi Kritikus

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Washington, 5 September 2025 – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menandatangani perintah eksekutif untuk mengganti nama Departemen Pertahanan (Department of Defense) menjadi “Department of War”—sebuah pengembalian istilah historis yang digunakan hingga 1949. Langkah ini dimaknai sebagai simbol perubahan sikap dari pertahanan semata menjadi ofensif dalam militer AS.

Makna Simbolik dan Implementasi Awal

Dalam pelaksanaannya, institusi militer langsung mengubah signage di Pentagon, dan petinggi seperti Pete Hegseth telah diperkenalkan sebagai “Secretary of War,” sementara properti digital seperti situs resmi Pentagon otomatis diarahkan ke war.gov. Menurut Trump, tindakan ini menandakan “semangat menang,” bukan sekadar simbolisme belaka.

“It’s not just about words — it’s about the warrior ethos,” tegas Pete Hegseth sebagai penyokong utama perubahan ini.

Aspek Legal dan Reaksi Kritikus

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Washington, 5 September 2025 – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menandatangani perintah eksekutif untuk mengganti nama Departemen Pertahanan (Department of Defense) menjadi “Department of War”—sebuah pengembalian istilah historis yang digunakan hingga 1949. Langkah ini dimaknai sebagai simbol perubahan sikap dari pertahanan semata menjadi ofensif dalam militer AS.

Makna Simbolik dan Implementasi Awal

Dalam pelaksanaannya, institusi militer langsung mengubah signage di Pentagon, dan petinggi seperti Pete Hegseth telah diperkenalkan sebagai “Secretary of War,” sementara properti digital seperti situs resmi Pentagon otomatis diarahkan ke war.gov. Menurut Trump, tindakan ini menandakan “semangat menang,” bukan sekadar simbolisme belaka.

“It’s not just about words — it’s about the warrior ethos,” tegas Pete Hegseth sebagai penyokong utama perubahan ini.

Aspek Legal dan Reaksi Kritikus

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Washington, 5 September 2025 – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menandatangani perintah eksekutif untuk mengganti nama Departemen Pertahanan (Department of Defense) menjadi “Department of War”—sebuah pengembalian istilah historis yang digunakan hingga 1949. Langkah ini dimaknai sebagai simbol perubahan sikap dari pertahanan semata menjadi ofensif dalam militer AS.

Makna Simbolik dan Implementasi Awal

Dalam pelaksanaannya, institusi militer langsung mengubah signage di Pentagon, dan petinggi seperti Pete Hegseth telah diperkenalkan sebagai “Secretary of War,” sementara properti digital seperti situs resmi Pentagon otomatis diarahkan ke war.gov. Menurut Trump, tindakan ini menandakan “semangat menang,” bukan sekadar simbolisme belaka.

“It’s not just about words — it’s about the warrior ethos,” tegas Pete Hegseth sebagai penyokong utama perubahan ini.

Aspek Legal dan Reaksi Kritikus

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.




Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Washington, 5 September 2025 – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menandatangani perintah eksekutif untuk mengganti nama Departemen Pertahanan (Department of Defense) menjadi “Department of War”—sebuah pengembalian istilah historis yang digunakan hingga 1949. Langkah ini dimaknai sebagai simbol perubahan sikap dari pertahanan semata menjadi ofensif dalam militer AS.

Makna Simbolik dan Implementasi Awal

Dalam pelaksanaannya, institusi militer langsung mengubah signage di Pentagon, dan petinggi seperti Pete Hegseth telah diperkenalkan sebagai “Secretary of War,” sementara properti digital seperti situs resmi Pentagon otomatis diarahkan ke war.gov. Menurut Trump, tindakan ini menandakan “semangat menang,” bukan sekadar simbolisme belaka.

“It’s not just about words — it’s about the warrior ethos,” tegas Pete Hegseth sebagai penyokong utama perubahan ini.

Aspek Legal dan Reaksi Kritikus

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Washington, 5 September 2025 – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menandatangani perintah eksekutif untuk mengganti nama Departemen Pertahanan (Department of Defense) menjadi “Department of War”—sebuah pengembalian istilah historis yang digunakan hingga 1949. Langkah ini dimaknai sebagai simbol perubahan sikap dari pertahanan semata menjadi ofensif dalam militer AS.

Makna Simbolik dan Implementasi Awal

Dalam pelaksanaannya, institusi militer langsung mengubah signage di Pentagon, dan petinggi seperti Pete Hegseth telah diperkenalkan sebagai “Secretary of War,” sementara properti digital seperti situs resmi Pentagon otomatis diarahkan ke war.gov. Menurut Trump, tindakan ini menandakan “semangat menang,” bukan sekadar simbolisme belaka.

“It’s not just about words — it’s about the warrior ethos,” tegas Pete Hegseth sebagai penyokong utama perubahan ini.

Aspek Legal dan Reaksi Kritikus

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Washington, 5 September 2025 – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menandatangani perintah eksekutif untuk mengganti nama Departemen Pertahanan (Department of Defense) menjadi “Department of War”—sebuah pengembalian istilah historis yang digunakan hingga 1949. Langkah ini dimaknai sebagai simbol perubahan sikap dari pertahanan semata menjadi ofensif dalam militer AS.

Makna Simbolik dan Implementasi Awal

Dalam pelaksanaannya, institusi militer langsung mengubah signage di Pentagon, dan petinggi seperti Pete Hegseth telah diperkenalkan sebagai “Secretary of War,” sementara properti digital seperti situs resmi Pentagon otomatis diarahkan ke war.gov. Menurut Trump, tindakan ini menandakan “semangat menang,” bukan sekadar simbolisme belaka.

“It’s not just about words — it’s about the warrior ethos,” tegas Pete Hegseth sebagai penyokong utama perubahan ini.

Aspek Legal dan Reaksi Kritikus

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Washington, 5 September 2025 – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menandatangani perintah eksekutif untuk mengganti nama Departemen Pertahanan (Department of Defense) menjadi “Department of War”—sebuah pengembalian istilah historis yang digunakan hingga 1949. Langkah ini dimaknai sebagai simbol perubahan sikap dari pertahanan semata menjadi ofensif dalam militer AS.

Makna Simbolik dan Implementasi Awal

Dalam pelaksanaannya, institusi militer langsung mengubah signage di Pentagon, dan petinggi seperti Pete Hegseth telah diperkenalkan sebagai “Secretary of War,” sementara properti digital seperti situs resmi Pentagon otomatis diarahkan ke war.gov. Menurut Trump, tindakan ini menandakan “semangat menang,” bukan sekadar simbolisme belaka.

“It’s not just about words — it’s about the warrior ethos,” tegas Pete Hegseth sebagai penyokong utama perubahan ini.

Aspek Legal dan Reaksi Kritikus

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Washington, 5 September 2025 – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menandatangani perintah eksekutif untuk mengganti nama Departemen Pertahanan (Department of Defense) menjadi “Department of War”—sebuah pengembalian istilah historis yang digunakan hingga 1949. Langkah ini dimaknai sebagai simbol perubahan sikap dari pertahanan semata menjadi ofensif dalam militer AS.

Makna Simbolik dan Implementasi Awal

Dalam pelaksanaannya, institusi militer langsung mengubah signage di Pentagon, dan petinggi seperti Pete Hegseth telah diperkenalkan sebagai “Secretary of War,” sementara properti digital seperti situs resmi Pentagon otomatis diarahkan ke war.gov. Menurut Trump, tindakan ini menandakan “semangat menang,” bukan sekadar simbolisme belaka.

“It’s not just about words — it’s about the warrior ethos,” tegas Pete Hegseth sebagai penyokong utama perubahan ini.

Aspek Legal dan Reaksi Kritikus

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Washington, 5 September 2025 – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menandatangani perintah eksekutif untuk mengganti nama Departemen Pertahanan (Department of Defense) menjadi “Department of War”—sebuah pengembalian istilah historis yang digunakan hingga 1949. Langkah ini dimaknai sebagai simbol perubahan sikap dari pertahanan semata menjadi ofensif dalam militer AS.

Makna Simbolik dan Implementasi Awal

Dalam pelaksanaannya, institusi militer langsung mengubah signage di Pentagon, dan petinggi seperti Pete Hegseth telah diperkenalkan sebagai “Secretary of War,” sementara properti digital seperti situs resmi Pentagon otomatis diarahkan ke war.gov. Menurut Trump, tindakan ini menandakan “semangat menang,” bukan sekadar simbolisme belaka.

“It’s not just about words — it’s about the warrior ethos,” tegas Pete Hegseth sebagai penyokong utama perubahan ini.

Aspek Legal dan Reaksi Kritikus

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Washington, 5 September 2025 – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menandatangani perintah eksekutif untuk mengganti nama Departemen Pertahanan (Department of Defense) menjadi “Department of War”—sebuah pengembalian istilah historis yang digunakan hingga 1949. Langkah ini dimaknai sebagai simbol perubahan sikap dari pertahanan semata menjadi ofensif dalam militer AS.

Makna Simbolik dan Implementasi Awal

Dalam pelaksanaannya, institusi militer langsung mengubah signage di Pentagon, dan petinggi seperti Pete Hegseth telah diperkenalkan sebagai “Secretary of War,” sementara properti digital seperti situs resmi Pentagon otomatis diarahkan ke war.gov. Menurut Trump, tindakan ini menandakan “semangat menang,” bukan sekadar simbolisme belaka.

“It’s not just about words — it’s about the warrior ethos,” tegas Pete Hegseth sebagai penyokong utama perubahan ini.

Aspek Legal dan Reaksi Kritikus

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.




Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Washington, 5 September 2025 – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menandatangani perintah eksekutif untuk mengganti nama Departemen Pertahanan (Department of Defense) menjadi “Department of War”—sebuah pengembalian istilah historis yang digunakan hingga 1949. Langkah ini dimaknai sebagai simbol perubahan sikap dari pertahanan semata menjadi ofensif dalam militer AS.

Makna Simbolik dan Implementasi Awal

Dalam pelaksanaannya, institusi militer langsung mengubah signage di Pentagon, dan petinggi seperti Pete Hegseth telah diperkenalkan sebagai “Secretary of War,” sementara properti digital seperti situs resmi Pentagon otomatis diarahkan ke war.gov. Menurut Trump, tindakan ini menandakan “semangat menang,” bukan sekadar simbolisme belaka.

“It’s not just about words — it’s about the warrior ethos,” tegas Pete Hegseth sebagai penyokong utama perubahan ini.

Aspek Legal dan Reaksi Kritikus

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Washington, 5 September 2025 – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menandatangani perintah eksekutif untuk mengganti nama Departemen Pertahanan (Department of Defense) menjadi “Department of War”—sebuah pengembalian istilah historis yang digunakan hingga 1949. Langkah ini dimaknai sebagai simbol perubahan sikap dari pertahanan semata menjadi ofensif dalam militer AS.

Makna Simbolik dan Implementasi Awal

Dalam pelaksanaannya, institusi militer langsung mengubah signage di Pentagon, dan petinggi seperti Pete Hegseth telah diperkenalkan sebagai “Secretary of War,” sementara properti digital seperti situs resmi Pentagon otomatis diarahkan ke war.gov. Menurut Trump, tindakan ini menandakan “semangat menang,” bukan sekadar simbolisme belaka.

“It’s not just about words — it’s about the warrior ethos,” tegas Pete Hegseth sebagai penyokong utama perubahan ini.

Aspek Legal dan Reaksi Kritikus

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Washington, 5 September 2025 – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menandatangani perintah eksekutif untuk mengganti nama Departemen Pertahanan (Department of Defense) menjadi “Department of War”—sebuah pengembalian istilah historis yang digunakan hingga 1949. Langkah ini dimaknai sebagai simbol perubahan sikap dari pertahanan semata menjadi ofensif dalam militer AS.

Makna Simbolik dan Implementasi Awal

Dalam pelaksanaannya, institusi militer langsung mengubah signage di Pentagon, dan petinggi seperti Pete Hegseth telah diperkenalkan sebagai “Secretary of War,” sementara properti digital seperti situs resmi Pentagon otomatis diarahkan ke war.gov. Menurut Trump, tindakan ini menandakan “semangat menang,” bukan sekadar simbolisme belaka.

“It’s not just about words — it’s about the warrior ethos,” tegas Pete Hegseth sebagai penyokong utama perubahan ini.

Aspek Legal dan Reaksi Kritikus

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Washington, 5 September 2025 – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menandatangani perintah eksekutif untuk mengganti nama Departemen Pertahanan (Department of Defense) menjadi “Department of War”—sebuah pengembalian istilah historis yang digunakan hingga 1949. Langkah ini dimaknai sebagai simbol perubahan sikap dari pertahanan semata menjadi ofensif dalam militer AS.

Makna Simbolik dan Implementasi Awal

Dalam pelaksanaannya, institusi militer langsung mengubah signage di Pentagon, dan petinggi seperti Pete Hegseth telah diperkenalkan sebagai “Secretary of War,” sementara properti digital seperti situs resmi Pentagon otomatis diarahkan ke war.gov. Menurut Trump, tindakan ini menandakan “semangat menang,” bukan sekadar simbolisme belaka.

“It’s not just about words — it’s about the warrior ethos,” tegas Pete Hegseth sebagai penyokong utama perubahan ini.

Aspek Legal dan Reaksi Kritikus

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Washington, 5 September 2025 – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menandatangani perintah eksekutif untuk mengganti nama Departemen Pertahanan (Department of Defense) menjadi “Department of War”—sebuah pengembalian istilah historis yang digunakan hingga 1949. Langkah ini dimaknai sebagai simbol perubahan sikap dari pertahanan semata menjadi ofensif dalam militer AS.

Makna Simbolik dan Implementasi Awal

Dalam pelaksanaannya, institusi militer langsung mengubah signage di Pentagon, dan petinggi seperti Pete Hegseth telah diperkenalkan sebagai “Secretary of War,” sementara properti digital seperti situs resmi Pentagon otomatis diarahkan ke war.gov. Menurut Trump, tindakan ini menandakan “semangat menang,” bukan sekadar simbolisme belaka.

“It’s not just about words — it’s about the warrior ethos,” tegas Pete Hegseth sebagai penyokong utama perubahan ini.

Aspek Legal dan Reaksi Kritikus

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Washington, 5 September 2025 – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menandatangani perintah eksekutif untuk mengganti nama Departemen Pertahanan (Department of Defense) menjadi “Department of War”—sebuah pengembalian istilah historis yang digunakan hingga 1949. Langkah ini dimaknai sebagai simbol perubahan sikap dari pertahanan semata menjadi ofensif dalam militer AS.

Makna Simbolik dan Implementasi Awal

Dalam pelaksanaannya, institusi militer langsung mengubah signage di Pentagon, dan petinggi seperti Pete Hegseth telah diperkenalkan sebagai “Secretary of War,” sementara properti digital seperti situs resmi Pentagon otomatis diarahkan ke war.gov. Menurut Trump, tindakan ini menandakan “semangat menang,” bukan sekadar simbolisme belaka.

“It’s not just about words — it’s about the warrior ethos,” tegas Pete Hegseth sebagai penyokong utama perubahan ini.

Aspek Legal dan Reaksi Kritikus

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.




Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Washington, 5 September 2025 – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menandatangani perintah eksekutif untuk mengganti nama Departemen Pertahanan (Department of Defense) menjadi “Department of War”—sebuah pengembalian istilah historis yang digunakan hingga 1949. Langkah ini dimaknai sebagai simbol perubahan sikap dari pertahanan semata menjadi ofensif dalam militer AS.

Makna Simbolik dan Implementasi Awal

Dalam pelaksanaannya, institusi militer langsung mengubah signage di Pentagon, dan petinggi seperti Pete Hegseth telah diperkenalkan sebagai “Secretary of War,” sementara properti digital seperti situs resmi Pentagon otomatis diarahkan ke war.gov. Menurut Trump, tindakan ini menandakan “semangat menang,” bukan sekadar simbolisme belaka.

“It’s not just about words — it’s about the warrior ethos,” tegas Pete Hegseth sebagai penyokong utama perubahan ini.

Aspek Legal dan Reaksi Kritikus

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Washington, 5 September 2025 – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menandatangani perintah eksekutif untuk mengganti nama Departemen Pertahanan (Department of Defense) menjadi “Department of War”—sebuah pengembalian istilah historis yang digunakan hingga 1949. Langkah ini dimaknai sebagai simbol perubahan sikap dari pertahanan semata menjadi ofensif dalam militer AS.

Makna Simbolik dan Implementasi Awal

Dalam pelaksanaannya, institusi militer langsung mengubah signage di Pentagon, dan petinggi seperti Pete Hegseth telah diperkenalkan sebagai “Secretary of War,” sementara properti digital seperti situs resmi Pentagon otomatis diarahkan ke war.gov. Menurut Trump, tindakan ini menandakan “semangat menang,” bukan sekadar simbolisme belaka.

“It’s not just about words — it’s about the warrior ethos,” tegas Pete Hegseth sebagai penyokong utama perubahan ini.

Aspek Legal dan Reaksi Kritikus

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Washington, 5 September 2025 – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menandatangani perintah eksekutif untuk mengganti nama Departemen Pertahanan (Department of Defense) menjadi “Department of War”—sebuah pengembalian istilah historis yang digunakan hingga 1949. Langkah ini dimaknai sebagai simbol perubahan sikap dari pertahanan semata menjadi ofensif dalam militer AS.

Makna Simbolik dan Implementasi Awal

Dalam pelaksanaannya, institusi militer langsung mengubah signage di Pentagon, dan petinggi seperti Pete Hegseth telah diperkenalkan sebagai “Secretary of War,” sementara properti digital seperti situs resmi Pentagon otomatis diarahkan ke war.gov. Menurut Trump, tindakan ini menandakan “semangat menang,” bukan sekadar simbolisme belaka.

“It’s not just about words — it’s about the warrior ethos,” tegas Pete Hegseth sebagai penyokong utama perubahan ini.

Aspek Legal dan Reaksi Kritikus

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Washington, 5 September 2025 – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menandatangani perintah eksekutif untuk mengganti nama Departemen Pertahanan (Department of Defense) menjadi “Department of War”—sebuah pengembalian istilah historis yang digunakan hingga 1949. Langkah ini dimaknai sebagai simbol perubahan sikap dari pertahanan semata menjadi ofensif dalam militer AS.

Makna Simbolik dan Implementasi Awal

Dalam pelaksanaannya, institusi militer langsung mengubah signage di Pentagon, dan petinggi seperti Pete Hegseth telah diperkenalkan sebagai “Secretary of War,” sementara properti digital seperti situs resmi Pentagon otomatis diarahkan ke war.gov. Menurut Trump, tindakan ini menandakan “semangat menang,” bukan sekadar simbolisme belaka.

“It’s not just about words — it’s about the warrior ethos,” tegas Pete Hegseth sebagai penyokong utama perubahan ini.

Aspek Legal dan Reaksi Kritikus

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Washington, 5 September 2025 – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menandatangani perintah eksekutif untuk mengganti nama Departemen Pertahanan (Department of Defense) menjadi “Department of War”—sebuah pengembalian istilah historis yang digunakan hingga 1949. Langkah ini dimaknai sebagai simbol perubahan sikap dari pertahanan semata menjadi ofensif dalam militer AS.

Makna Simbolik dan Implementasi Awal

Dalam pelaksanaannya, institusi militer langsung mengubah signage di Pentagon, dan petinggi seperti Pete Hegseth telah diperkenalkan sebagai “Secretary of War,” sementara properti digital seperti situs resmi Pentagon otomatis diarahkan ke war.gov. Menurut Trump, tindakan ini menandakan “semangat menang,” bukan sekadar simbolisme belaka.

“It’s not just about words — it’s about the warrior ethos,” tegas Pete Hegseth sebagai penyokong utama perubahan ini.

Aspek Legal dan Reaksi Kritikus

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.




Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Washington, 5 September 2025 – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menandatangani perintah eksekutif untuk mengganti nama Departemen Pertahanan (Department of Defense) menjadi “Department of War”—sebuah pengembalian istilah historis yang digunakan hingga 1949. Langkah ini dimaknai sebagai simbol perubahan sikap dari pertahanan semata menjadi ofensif dalam militer AS.

Makna Simbolik dan Implementasi Awal

Dalam pelaksanaannya, institusi militer langsung mengubah signage di Pentagon, dan petinggi seperti Pete Hegseth telah diperkenalkan sebagai “Secretary of War,” sementara properti digital seperti situs resmi Pentagon otomatis diarahkan ke war.gov. Menurut Trump, tindakan ini menandakan “semangat menang,” bukan sekadar simbolisme belaka.

“It’s not just about words — it’s about the warrior ethos,” tegas Pete Hegseth sebagai penyokong utama perubahan ini.

Aspek Legal dan Reaksi Kritikus

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Washington, 5 September 2025 – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menandatangani perintah eksekutif untuk mengganti nama Departemen Pertahanan (Department of Defense) menjadi “Department of War”—sebuah pengembalian istilah historis yang digunakan hingga 1949. Langkah ini dimaknai sebagai simbol perubahan sikap dari pertahanan semata menjadi ofensif dalam militer AS.

Makna Simbolik dan Implementasi Awal

Dalam pelaksanaannya, institusi militer langsung mengubah signage di Pentagon, dan petinggi seperti Pete Hegseth telah diperkenalkan sebagai “Secretary of War,” sementara properti digital seperti situs resmi Pentagon otomatis diarahkan ke war.gov. Menurut Trump, tindakan ini menandakan “semangat menang,” bukan sekadar simbolisme belaka.

“It’s not just about words — it’s about the warrior ethos,” tegas Pete Hegseth sebagai penyokong utama perubahan ini.

Aspek Legal dan Reaksi Kritikus

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Washington, 5 September 2025 – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menandatangani perintah eksekutif untuk mengganti nama Departemen Pertahanan (Department of Defense) menjadi “Department of War”—sebuah pengembalian istilah historis yang digunakan hingga 1949. Langkah ini dimaknai sebagai simbol perubahan sikap dari pertahanan semata menjadi ofensif dalam militer AS.

Makna Simbolik dan Implementasi Awal

Dalam pelaksanaannya, institusi militer langsung mengubah signage di Pentagon, dan petinggi seperti Pete Hegseth telah diperkenalkan sebagai “Secretary of War,” sementara properti digital seperti situs resmi Pentagon otomatis diarahkan ke war.gov. Menurut Trump, tindakan ini menandakan “semangat menang,” bukan sekadar simbolisme belaka.

“It’s not just about words — it’s about the warrior ethos,” tegas Pete Hegseth sebagai penyokong utama perubahan ini.

Aspek Legal dan Reaksi Kritikus

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Washington, 5 September 2025 – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menandatangani perintah eksekutif untuk mengganti nama Departemen Pertahanan (Department of Defense) menjadi “Department of War”—sebuah pengembalian istilah historis yang digunakan hingga 1949. Langkah ini dimaknai sebagai simbol perubahan sikap dari pertahanan semata menjadi ofensif dalam militer AS.

Makna Simbolik dan Implementasi Awal

Dalam pelaksanaannya, institusi militer langsung mengubah signage di Pentagon, dan petinggi seperti Pete Hegseth telah diperkenalkan sebagai “Secretary of War,” sementara properti digital seperti situs resmi Pentagon otomatis diarahkan ke war.gov. Menurut Trump, tindakan ini menandakan “semangat menang,” bukan sekadar simbolisme belaka.

“It’s not just about words — it’s about the warrior ethos,” tegas Pete Hegseth sebagai penyokong utama perubahan ini.

Aspek Legal dan Reaksi Kritikus

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.




Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Washington, 5 September 2025 – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menandatangani perintah eksekutif untuk mengganti nama Departemen Pertahanan (Department of Defense) menjadi “Department of War”—sebuah pengembalian istilah historis yang digunakan hingga 1949. Langkah ini dimaknai sebagai simbol perubahan sikap dari pertahanan semata menjadi ofensif dalam militer AS.

Makna Simbolik dan Implementasi Awal

Dalam pelaksanaannya, institusi militer langsung mengubah signage di Pentagon, dan petinggi seperti Pete Hegseth telah diperkenalkan sebagai “Secretary of War,” sementara properti digital seperti situs resmi Pentagon otomatis diarahkan ke war.gov. Menurut Trump, tindakan ini menandakan “semangat menang,” bukan sekadar simbolisme belaka.

“It’s not just about words — it’s about the warrior ethos,” tegas Pete Hegseth sebagai penyokong utama perubahan ini.

Aspek Legal dan Reaksi Kritikus

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.




Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Washington, 5 September 2025 – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menandatangani perintah eksekutif untuk mengganti nama Departemen Pertahanan (Department of Defense) menjadi “Department of War”—sebuah pengembalian istilah historis yang digunakan hingga 1949. Langkah ini dimaknai sebagai simbol perubahan sikap dari pertahanan semata menjadi ofensif dalam militer AS.

Makna Simbolik dan Implementasi Awal

Dalam pelaksanaannya, institusi militer langsung mengubah signage di Pentagon, dan petinggi seperti Pete Hegseth telah diperkenalkan sebagai “Secretary of War,” sementara properti digital seperti situs resmi Pentagon otomatis diarahkan ke war.gov. Menurut Trump, tindakan ini menandakan “semangat menang,” bukan sekadar simbolisme belaka.

“It’s not just about words — it’s about the warrior ethos,” tegas Pete Hegseth sebagai penyokong utama perubahan ini.

Aspek Legal dan Reaksi Kritikus

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.




Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Washington, 5 September 2025 – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menandatangani perintah eksekutif untuk mengganti nama Departemen Pertahanan (Department of Defense) menjadi “Department of War”—sebuah pengembalian istilah historis yang digunakan hingga 1949. Langkah ini dimaknai sebagai simbol perubahan sikap dari pertahanan semata menjadi ofensif dalam militer AS.

Makna Simbolik dan Implementasi Awal

Dalam pelaksanaannya, institusi militer langsung mengubah signage di Pentagon, dan petinggi seperti Pete Hegseth telah diperkenalkan sebagai “Secretary of War,” sementara properti digital seperti situs resmi Pentagon otomatis diarahkan ke war.gov. Menurut Trump, tindakan ini menandakan “semangat menang,” bukan sekadar simbolisme belaka.

“It’s not just about words — it’s about the warrior ethos,” tegas Pete Hegseth sebagai penyokong utama perubahan ini.

Aspek Legal dan Reaksi Kritikus

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.




Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Washington, 5 September 2025 – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menandatangani perintah eksekutif untuk mengganti nama Departemen Pertahanan (Department of Defense) menjadi “Department of War”—sebuah pengembalian istilah historis yang digunakan hingga 1949. Langkah ini dimaknai sebagai simbol perubahan sikap dari pertahanan semata menjadi ofensif dalam militer AS.

Makna Simbolik dan Implementasi Awal

Dalam pelaksanaannya, institusi militer langsung mengubah signage di Pentagon, dan petinggi seperti Pete Hegseth telah diperkenalkan sebagai “Secretary of War,” sementara properti digital seperti situs resmi Pentagon otomatis diarahkan ke war.gov. Menurut Trump, tindakan ini menandakan “semangat menang,” bukan sekadar simbolisme belaka.

“It’s not just about words — it’s about the warrior ethos,” tegas Pete Hegseth sebagai penyokong utama perubahan ini.

Aspek Legal dan Reaksi Kritikus

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?

Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.

Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.






Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.

Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.






Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.




Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.




Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?




Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.





Kesimpulan





Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.


Walau sudah diberlakukan dalam konteks administratif, pergantian nama ini hanya bersifat sekunder—karena nama resmi “Department of Defense” tetap berlaku sesuai undang-undang tahun 1949. Perubahan mendasar tetap membutuhkan persetujuan Kongres AS.




Sementara legislatif Partai Republik mulai mengajukan RUU untuk menjadikan “Department of War” sebagai nama permanen, banyak pihak menyebut langkah ini menguras anggaran dan mengalihkan fokus publik dari prioritas lebih mendesak dalam reformasi militer.




Biaya dan Kritik Publik





Perubahan nama ini diperkirakan memicu biaya besar—mulai dari penggantian papan nama, seragam, hingga dokumen resmi di lebih dari 700.000 lokasi militer di sekitar dunia :contentReference[oaicite:6]{index=6}. Para analis menyebut inisiatif ini sebagai langkah retoris yang menonjolkan kekuatan tanpa didukung transformasi struktural yang berarti.




Latar Sejarah dan Sasaran Politik





Pergantian nama merujuk kembali ke era awal pemerintahan—sekarang diklaim mengembalikan karakter militer yang tegas dan agresif. Namun, sejarah mencatat nama “Department of War” dihapus pada 1949 sebagai bagian dari strategi berdamai pasca-Perang Dunia II.



Para pendukung menyebut “perkataan punya kekuatan”—bahwa identitas lembaga memang memengaruhi budaya dan orientasi strategi. Tapi kritikus menilai ini hanyalah efek pencitraan irritatif daripada langkah kebijakan nyata.

Bagi pembaca Kilat News, langkah ini menyoroti bagaimana simbol sering digunakan untuk membentuk persepsi geopolitik, sekaligus membuka pertanyaan: apakah yang lebih penting adalah rebranding simbolis atau reformasi mendalam dalam kebijakan militer?



Untuk analisis lebih mendalam soal kebijakan luar negeri dan militer global, kunjungi rubrik Analisis Internasional di kilatnews.id.



Kesimpulan



Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” merupakan bentuk simbolisme agresif yang mencerminkan citra militer ofensif di bawah pemerintahan Trump. Meski berlaku dalam konteks administratif, legalitas permanennya tetap bergantung pada keputusan Kongres. Langkah ini juga menuai kritik karena dianggap lebih mengutamakan citra ketimbang reformasi nyata dan berpotensi menambah beban anggaran.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *