UMP 2026 Naik 6–7%, Namun Upah Riil Pekerja Indonesia Tetap Tergeser
Pemerintah Indonesia resmi menetapkan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) untuk tahun 2026 dengan rata-rata persentase sekitar 6–7% dibanding tahun sebelumnya. Meski kenaikan ini melampaui laju inflasi di banyak daerah, para pekerja dan pakar ekonomi menilai bahwa kebijakan tersebut belum mampu menangkal tekanan biaya hidup yang terus meningkat.
Kenaikan UMP itu berlaku serentak di berbagai provinsi berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 49 Tahun 2025 tentang Pengupahan yang mengatur formula perhitungan upah minimum. Dalam peraturan ini, komponen kenaikan UMP menggabungkan laju inflasi dan pertumbuhan ekonomi, dikalikan dengan indeks alpha yang lebih tinggi dari sebelumnya. Hal ini memberi kesempatan kenaikan nominal yang lebih besar di beberapa wilayah.
Rincian Kenaikan UMP di Daerah
Sebagai contoh, UMP DKI Jakarta 2026 resmi ditetapkan pada angka Rp 5.729.876 per bulan, naik sekitar 6,17% dari tahun sebelumnya. Keputusan ini diumumkan oleh Gubernur Jakarta setelah melalui pembahasan Dewan Pengupahan yang melibatkan perwakilan pekerja, pengusaha, dan pemerintah daerah.
Selain Jakarta, provinsi lain seperti Jawa Tengah juga menetapkan kenaikan UMP di kisaran 7,2–7,3%. Artinya hampir seluruh provinsi mencatat angka kenaikan yang seragam berada di kisaran 6 sampai 7 persen.
Upah Riil: Masih di Bawah Tekanan Biaya Hidup
Meski demikian, sejumlah pakar dan serikat pekerja menyoroti bahwa kenaikan nominal tidak serta-merta memastikan peningkatan daya beli pekerja. Dalam praktiknya, upah riil — ukuran daya beli pekerja setelah disesuaikan dengan inflasi — justru masih mengalami tren penurunan. Analisis terbaru menunjukkan bahwa upah riil pekerja Indonesia telah mengalami kontraksi sekitar 1,1% per tahun sejak 2018. Ini menunjukkan bahwa pendapatan pekerja belum cukup untuk mengejar laju kenaikan biaya kebutuhan pokok, transportasi, dan layanan lainnya.
Penurunan upah riil tersebut mencerminkan bahwa meskipun angka UMP meningkat, pertumbuhan biaya hidup yang cepat tetap menjadi tantangan serius bagi pekerja. Inflasi yang masih bertahan pada level tinggi, terutama pada komponen kebutuhan pokok dan sektor tidak terkontrol seperti biaya pendidikan dan kesehatan, membuat kemampuan pekerja untuk memenuhi kebutuhan dasar tetap tertekan.
Serikat Pekerja dan Kritik Formula UMP
Pernyataan dari berbagai organisasi buruh menunjukkan ketidakpuasan atas formula penetapan UMP. Mereka menilai bahwa angka kenaikan tersebut masih jauh dari yang dibutuhkan pekerja untuk hidup layak. Kwantitas kenaikan UMP dinilai tidak mempertimbangkan kondisi nyata biaya hidup di lapangan, terutama di daerah metropolitan besar seperti Jakarta.
Serikat pekerja seperti Confederation of Indonesian Trade Unions (KSPI) dan asosiasi lainnya justru menyuarakan bahwa formula yang diterapkan terlalu fokus pada variabel makro ekonomi seperti inflasi dan pertumbuhan, tetapi kurang mencerminkan realitas pengeluaran rumah tangga pekerja. Mereka berharap indeks alpha dan parameter lain dalam formula bisa disesuaikan agar kenaikan upah lebih adil dan mencerminkan kebutuhan hidup layak (living wage).
Keluhan serupa juga muncul dari beberapa kelompok yang menilai bahwa kebijakan upah masih terlalu mengedepankan kepentingan stabilitas ekonomi dan daya saing investasi, sementara aspek kesejahteraan pekerja mendapatkan porsi yang lebih kecil dalam formula tersebut.
Pandangan Ekonomi dan Tantangan Ke Depan
Dari kaca mata ekonomi makro, pemerintah mencoba menyeimbangkan antara kebutuhan peningkatan upah dan keberlangsungan dunia usaha. Apabila kenaikan upah terlalu cepat dan besar, hal ini berpotensi menekan biaya produksi, membuat harga barang naik, dan bahkan mengurangi daya saing bisnis Indonesia di pasar global. Namun sebaliknya, jika kenaikan upah terlalu rendah, daya beli masyarakat bisa melemah dan konsumsi domestik pun tertekan.
Tantangan ini memerlukan sinergi antara pemerintah, serikat pekerja, dan dunia usaha untuk menyusun kebijakan upah yang mampu meningkatkan kesejahteraan pekerja tanpa memicu tekanan biaya yang berlebihan bagi pelaku usaha. Kebijakan jangka panjang yang mempertimbangkan produktivitas tenaga kerja, efisiensi industri, serta keseimbangan inflasi harus terus dikaji agar upah riil pekerja dapat tumbuh secara berkelanjutan.
Kesimpulan
Secara garis besar, kenaikan UMP 2026 sebesar 6–7% adalah langkah pemerintah dalam menanggapi kebutuhan pekerja dan dinamika ekonomi nasional. Namun realitas menunjukkan bahwa kenaikan tersebut belum cukup untuk menghentikan tergerusnya upah riil pekerja akibat tingginya biaya hidup. Evaluasi formula pengupahan bersama para pemangku kepentingan sangat diperlukan agar kebijakan upah minimum berikutnya bisa lebih responsif terhadap kebutuhan riil pekerja di seluruh Indonesia.

