6 Anggota Yanma Jadi Tersangka Pengeroyokan ‘Matel’, Polri Pastikan Sidang Etik Digelar Maraton
JAKARTA, kilatnews.id – Penegakan hukum internal di tubuh Kepolisian Republik Indonesia (Polri) kembali diuji. Polda Metro Jaya bergerak cepat merespons insiden kekerasan yang melibatkan oknum aparatnya terhadap warga sipil yang berprofesi sebagai penagih utang atau sering disebut “mata elang” (matel). Enam anggota yang berdinas di Pelayanan Markas (Yanma) resmi ditetapkan sebagai tersangka kasus pengeroyokan. Tak hanya menghadapi ancaman penjara, keenam oknum tersebut kini langsung dihadapkan pada meja hijau internal melalui sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP).
Langkah tegas ini diambil sebagai bentuk komitmen institusi untuk tidak memberikan ruang bagi arogansi anggota, terlepas dari apapun pemicu konflik di lapangan. Kabid Humas Polda Metro Jaya menegaskan bahwa proses pidana dan etik akan berjalan secara paralel, memastikan keadilan tegak baik secara hukum negara maupun disiplin korps.
Proses Hukum “Double Track”
Penetapan tersangka terhadap enam anggota Yanma ini bukan akhir dari proses, melainkan awal dari mimpi buruk panjang bagi karier kepolisian mereka. Secara pidana, mereka dijerat dengan Pasal 170 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pengeroyokan di muka umum yang menyebabkan korban luka. Ancaman hukuman penjara menanti mereka jika terbukti bersalah di pengadilan umum.
Namun, yang lebih menakutkan bagi seorang anggota Polri adalah sidang etik. Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polda Metro Jaya tidak menunggu putusan pengadilan pidana inkrah untuk menggelar sidang etik. Hal ini merupakan prosedur standar dalam penanganan pelanggaran berat yang mencoreng citra institusi. Dalam sidang etik ini, sanksi yang membayangi keenam tersangka sangat serius, mulai dari demosi, penundaan pangkat, hingga yang terberat: Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) alias pemecatan.
Percepatan sidang etik ini menjadi sinyal bahwa pimpinan Polri ingin segera “membersihkan” barisan dari oknum-oknum yang bertindak premanisme. Insiden pengeroyokan yang viral atau menjadi perhatian publik seringkali menuntut respons cepat (quick response) untuk meredam spekulasi liar di masyarakat mengenai impunitas aparat.
Kronologi Bentrokan di Lapangan
Insiden ini bermula dari konflik klasik di jalanan Jakarta: sengketa penarikan kendaraan. Berdasarkan informasi yang dihimpun, gesekan terjadi ketika para penagih utang atau matel mencoba melakukan penarikan paksa terhadap kendaraan yang diduga menunggak cicilan. Situasi memanas ketika diketahui bahwa pihak yang membawa kendaraan tersebut berkaitan dengan anggota kepolisian.
Cekcok mulut yang seharusnya bisa diselesaikan melalui jalur hukum perdata atau mediasi di kantor polisi, justru meledak menjadi aksi kekerasan fisik. Keenam anggota Yanma tersebut diduga tersulut emosi dan melakukan tindakan main hakim sendiri secara bersama-sama terhadap korban. Video atau laporan mengenai insiden ini kemudian menjadi atensi pimpinan, mengingat Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo telah berulang kali mengingatkan jajarannya untuk menghindari gaya-gaya kekerasan yang eksesif.
Tindakan pengeroyokan oleh aparat penegak hukum dinilai sebagai pelanggaran berat karena polisi seharusnya menjadi pelindung dan pengayom, bukan justru menjadi pelaku kekerasan jalanan. Meski profesi debt collector juga kerap disorot karena cara-cara penagihan yang intimidatif, namun tindakan balasan berupa pengeroyokan oleh aparat negara tidak dapat dibenarkan dalam dalih apa pun.
Propam: Tidak Ada Toleransi
Pihak Propam menegaskan bahwa tidak ada toleransi (zero tolerance) bagi anggota yang melanggar hukum. Dalam pemeriksaan awal, bukti-bukti permulaan yang cukup, termasuk keterangan saksi dan visum korban, telah menguatkan dugaan keterlibatan keenam anggota Yanma tersebut.
Sidang etik yang akan digelar maraton ini bertujuan untuk memberikan kepastian status keanggotaan mereka. Jika diputuskan PTDH, maka keenamnya akan kehilangan seluruh hak-haknya sebagai anggota Polri dan kembali menjadi warga sipil biasa yang harus menjalani masa hukuman pidana di lembaga pemasyarakatan umum, tanpa perlindungan korps.
Kasus ini menambah daftar panjang upaya “bersih-bersih” di tubuh Polda Metro Jaya. Sebelumnya, Kapolda Metro Jaya Irjen Karyoto juga telah memberikan instruksi keras kepada jajarannya untuk menindak tegas segala bentuk premanisme, baik yang dilakukan oleh warga sipil (termasuk debt collector yang menyalahi aturan) maupun oleh oknum anggota Polri sendiri. Hukum harus berdiri tegak di tengah, tanpa pandang bulu seragam.
Pelajaran Mahal bagi Korps Bhayangkara
Peristiwa ini menjadi tamparan keras sekaligus pelajaran mahal bagi seluruh personel kepolisian. Emosi sesaat dan solidaritas korps yang sempit (esprit de corps) yang salah tempat dapat berujung pada kehancuran karier yang telah dibangun bertahun-tahun. Jabatan di satuan Yanma, yang seringkali dianggap sebagai tempat pembinaan, ternyata tidak menjamin anggota bebas dari perilaku indisipliner.
Masyarakat kini memantau ketat jalannya proses hukum ini. Transparansi dalam sidang etik dan peradilan pidana menjadi kunci untuk menjaga kepercayaan publik (public trust). Publik berharap putusan yang dihasilkan nanti benar-benar mencerminkan rasa keadilan, di mana aparat yang salah dihukum sesuai perbuatannya, dan tidak ada kesan “jeruk makan jeruk” atau perlindungan internal yang berlebihan.
Keenam tersangka kini telah ditahan di tempat khusus (patsus) sembari menunggu jadwal sidang etik yang diagendakan dalam waktu dekat. Nasib seragam cokelat mereka kini berada di ujung tanduk, bergantung pada palu sidang Komisi Kode Etik Polri.
Related Keywords: kasus polisi keroyok debt collector, sanksi kode etik polri, propam polda metro jaya, arogansi aparat, berita kriminal jakarta hari ini.
