Bupati Aceh Selatan Mohon Maaf Setelah Umrah Tanpa Izin di Tengah Bencana
Jakarta — Kontroversi besar muncul setelah Mirwan MS, Bupati Aceh Selatan, berangkat umrah pada tengah krisis banjir dan longsor di wilayahnya tanpa izin resmi. Setelah sorotan publik mereda, Mirwan akhirnya mengeluarkan permohonan maaf terbuka, Selasa (9/12/2025).
Dalam unggahannya di media sosial, Mirwan menyatakan dengan tulus rasa penyesalannya atas keputusan yang telah menimbulkan keresahan dan kekecewaan di banyak kalangan. Ia secara khusus meminta maaf kepada Presiden Prabowo Subianto, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Gubernur Aceh Muzakir Manaf, serta kepada seluruh masyarakat Indonesia — khususnya warga Aceh dan Aceh Selatan.
“Dengan segala kerendahan hati, saya menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya atas ketidaknyamanan, keresahan, dan kekecewaan banyak pihak,” ujarnya. detiknews
Mirwan mengakui bahwa tindakannya telah “menyita perhatian publik dan mengganggu stabilitas nasional.” Ia berjanji akan bekerja keras untuk memulihkan kepercayaan publik dan memastikan bahwa tindakan serupa tidak terulang.
Latar Belakang Kontroversi
Kasus ini mendapat sorotan luas setelah terungkap bahwa Mirwan tetap berangkat ke Tanah Suci untuk umrah bersama istrinya — meskipun situasi di Aceh Selatan saat itu sedang darurat banjir dan longsor yang melanda belasan kecamatan, memaksa ribuan warga mengungsi.
Menurut data, setidaknya 11 kecamatan terdampak bencana, dan banyak warga masih berada di tenda pengungsian ketika Mirwan memutuskan pergi.
Tak hanya itu — sebelum keberangkatan, Mirwan dilaporkan sempat mengirim surat kepada Pemerintah Aceh dan pemerintah pusat pada 27 November, menyatakan bahwa Pemkab Aceh Selatan “tidak mampu menangani situasi darurat.” Namun kemudian pada 2 Desember, ia tetap memutuskan umrah, memicu tanda tanya besar soal prioritas dan moral kepemimpinan.
Permohonan izin resmi untuk meninggalkan wilayah sempat disampaikan — namun ditolak oleh Gubernur Aceh. Meski demikian, keberangkatan tetap dilakukan. Banyak pihak menilai itu sebagai pelanggaran serius terhadap tanggung jawab sebagai kepala daerah dalam situasi darurat.
Proses Hukum dan Tekanan dari Pemerintah Pusat
Reaksi keras datang dari pemerintah pusat. Prabowo Subianto secara terbuka menegur Mirwan — dalam rapat percepatan penanganan bencana Sumatera di Lanud Sultan Iskandar Muda, Aceh Besar, Minggu (7/12) — dan meminta Menteri Dalam Negeri untuk memproses kasus ini.
Prabowo bahkan menyamakan tindakan Mirwan dengan “desersi” dalam dunia militer — menyatakan bahwa “kalau mau lari ya lari saja, bisa dicopot Mendagri.”
Menanggapi hal ini, wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto menegaskan bahwa sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah yang meninggalkan wilayah tanpa izin di tengah kondisi darurat bisa dikenai sanksi.
Inspektorat Jenderal dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) pun akan segera memeriksa kedatangan Mirwan ke tanah air. Bima belum mengungkap sanksi spesifik, tetapi memperingatkan kemungkinan tindakan tegas jika ditemukan pelanggaran.
Janji Pemulihan dan Harapan Publik
Dalam pernyataannya, Mirwan menegaskan bahwa dirinya akan bertanggung jawab penuh terhadap konsekuensi dari perbuatannya. Ia mengaku siap bekerja keras untuk mengembalikan kepercayaan publik, serta memastikan bahwa skenario seperti ini tidak terulang di masa depan.
“Semoga Allah SWT melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua. Terima kasih atas perhatiannya,” tambahnya.
Namun, banyak pihak skeptis. Kritikus menilai sebuah permohonan maaf tidak cukup — dibutuhkan tindakan nyata: akuntabilitas dan transparansi penuh dalam penanganan bencana, serta kepastian bahwa pejabat daerah menomorsatukan keselamatan dan kepentingan warga di atas urusan pribadi.
Implikasi dan Pelajaran
Kasus ini kembali menegaskan pentingnya etika dan tanggung jawab publik bagi pejabat daerah — terutama dalam situasi kritis seperti bencana alam. Kepala daerah tak hanya pemimpin administratif, tetapi sosok yang seharusnya hadir di tengah rakyat saat krisis melanda.
Selain itu, polemik ini menjadi peringatan bagi pemerintahan pusat dan daerah tentang pentingnya pengawasan serta penerapan aturan bagi pejabat publik. Jika pelanggaran terjadi — terutama pada masa darurat — maka konsekuensi harus ditegakkan agar kepercayaan publik tidak runtuh.
Bagi masyarakat, kasus ini membuka ruang diskusi: sejauh mana pemimpin daerah dapat dimaafkan bila melakukan kesalahan, dan bagaimana standar moral/etika harus ditegakkan dalam kepemimpinan.

